Menjadi Kiai


Dari kecil, cita-cita saya memang menjadi kiai. Meskipun saat ditanya oleh para guru, saya menjawab “dokter” atau “tentara” karena nggak ada teman yang punya cita-cita seperti saya.

Mungkin karena bapak saya kiai. Saya mendengar, beberapa anak bercita-cita seperti profesi bapaknya. Ada yang cita-citanya jadi sopir, ada yang cita-citanya jadi petani. Saya langsung, “Ha?” Dan setelah tahu kejujuran atau kepolosan mereka itu, saya berpikir, kenapa saya harus malu bercita-cita menjadi kiai? Akhirnya dengan lantang saya revisi, “Saya tidak jadi bercita-cita menjadi dokter dan tentara. Saya pengen jadi kiai.”

Banyak guru yang mengaminkan. Dan alhamdulillah, doa-doa itu, kini terjawab.

Saya telah menjadi kiai. Tentu saja, dengan segala keterbatasan. Sungguh minder bila saya menyaksikan kiai-kiai yang telah matang. Tapi, bila saya tidak memasakkan diri mulai sekarang, kapan saya akan matang.

Dulunya, saya membayangkan, menjadi kiai itu bahagia. Tapi setelah saya rasakan, ternyata, lebih dari bahagia. Saya belum merasakan kebahagiaan seperti ini. Sebagaimana saya belum pernah merasakan perjuangan yang seberpetualang ini.

Menjadi kiai tidak bisa buat gaya-gayaan, berbeda dengan ustad selebritis atau mubalig keliling. Karena itu tidak jarang kita temui, kiai yang demikian ikhlas dalam berjuang. Saya awalnya tidak percaya adanya keikhlasan. Tapi dalam setiap ketidakpercayaan, kita akan selalu diantar pada satu titik yang memaksa kita untuk melepas percaya dan tidak percaya, menuju pada fakta. Seperti seorang lajang yang tidak percaya bahwa ada orang yang mencari uang dengan sulit, lalu uangnya tidak dinikmatinya sendiri. Sementara seorang suami dan ayah, tidak lagi butuh percaya. Seorang kepala desa, lurah, camat, bupati, gubernur, hingga presiden, tidak butuh percaya, dan tidak butuh orang lain percaya. Orang lain, mungkin akan melempar tuduhan pada seseorang bahwa dia mengambil keuntungan dari takdirnya. Tapi yang dituduh, justru mendapat keuntungan tanpa mengambilnya. Keuntungan itu adalah kebahagiaan berjuang.

Yang tidak boleh ditinggalkan oleh siapa pun adalah, belajar. Orang pandai, pintar, dan cerdas itu ada. Orang berilmu juga ada. Tapi tidak ada ilmu yang paripurna. Ilmu harus selalu dicari, sampai mati, bukan sampai jadi kiai.

HARI RAYA KEHILANGAN


Saya telah berada di fase yang saya cita-citakan. Saya telah bahagia, bersama istri saya yang cantik dan dua anak saya yang lucu-lucu. Tapi, di hari raya, seolah kita dipaksa untuk lebih bahagia dari hari non-raya. Ini yang membuat saya berduka.

Saya mulai mencari-cari yang tidak ada. Atau yang ada, tapi tidak bersama. Yang akan terus berulang di setiap tahunnya.

Ayah, Ibu, semoga Tuhan merahmati kalian di taman surga sana.

Saudara saya, yang entah berada di mana. Di tempat nyamankah kau, atau yang penuh derita? Di sekeliling orang-orang baikkah kau, atau bersama para penjahat? Semoga kau kuat dan tetap bahagia.

Dan untukmu, yang kita tidak mungkin lagi bertemu, atau mengulang masa indah, atau suram, itu, maafkan saya, atas semua kesalahan yang pernah saya lakukan. Saya sungguh bajingan tak terkira.

Saya telah kehilangan kalian semua secara lahiriah. Tapi ketahuilah, kalian masih selalu berada dalam angan saya. Dalam kenangan. Dalam mimpi-mimpi hampir setiap malam.

Salam rindu, untuk Ayah, Ibu, dan Kakak saya. Semoga Allah menyayangi kalian. Selamat hari raya. Saya kehilangan kalian. Sedih, tanpa kalian.

MINDER UNTUK BERHARAP


Tahun ini, adalah puncak keminderan saya. Semua yang telah saya duga, telah terbukti kesalahannya. Saya, tidak sepintar yang saya kira. Tidak sehebat yang saya sangka.

Hari ini, saya benar-benar merasa gagal dalam setiap yang saya jalani. Dalam setiap yang saya korbankan. Dalam setiap yang saya perjuangkan.

Saya melihat sekeliling. Tidak saya temukan apa pun kecuali kenangan perjuangan dan sisa-sisa harapan yang kemarin sempat saya pegang erat. Saya mencoba menyatukan pecahan demi pecahan itu, tapi mereka mencair, menjadi air, yang menyatu dengan air saya, yang keluar dari mata.

Saya tadi pergi ke toko-toko, mencari harapan. Ada. Dijual tidak terlalu mahal. Tapi, ada yang berbeda. Harapan yang dijual itu, bikinan pabrik. Tidak alami. Terlalu manis. Saya tidak jadi minat.

Ketika saya hendak tidur ini, saya kepikiran harapan baru. Ya, akhirnya saya punya harapan. Harapan untuk tidak banyak berharap. Saya minder.

Selamat Tahun Baru 2021


Tahun 2020 adalah masa penuh warna. Cobaan, datang secara tiba-tiba dan tubi-tubi, seperti siang yang terik, seketika diguyur petir dan disambar hujan. Hujan air, tapi serasa batu. Batu bata yang menimpa jarak, sehingga kita tidak bisa banyak bergerak. Hanya rindu dan doa, yang masih menyatukan kita.

Namun, Tuhan selalu menyiapkan banyak pintu surprise dan seambrek jendela bahagia untuk satu ruang derita. Di tahun ini, rezeki hadir tak terhitung jumlahnya. Seperti ngrawuk pasir di pantai, yang kelihatannya memang segenggam, tapi kita tidak akan mampu menghitungnya. Atau seperti mendapat secawan Kautsar, direguk setenggak, dahaga sirna selamanya.

Di tahun ini, anakku mulai bisa merangkak hingga berjalan dengan tegak. Walau baru sedikit memiliki perbendaharaan kosakata, tapi ia sudah bisa memanggil bapaknya. Meski sukanya mendengar musik dan suara hewan dari Youtube, tapi ia sudah bisa meniru gerakan salat dan meminta diambilkan mushaf saat mendengar Al-Qur’an dilantunkan. Kejutan yang tak kalah bahagia, sebentar lagi ia akan punya sahabat sedarahnya, yang akan lahir dari rahim ibu yang sama, dari darah daging ayah yang sama.

Cita-cita di tahun sebelumnya yang sempat tenggelam oleh surup, di akhir tahun ini, sudah kembali terbit, berikut embun pagi, rerumputan basah oleh embun dan gerimis, dan angin segar pembawa harapan. Jauh dari ekspektasi. Tuhan memberi lebih dari yang kami minta.

Kita boleh berekspektasi tinggi atau merancang resolusi dalam setiap tahun. Tapi kuasa Tuhan dan takdir-Nya, akan jauh, jauh lebih indah, bila kita menyadarinya.

Memang terasa aneh jika kita meminta yang macam-macam dan ragam-ragam pada Tuhan, sementara kita telah terbiasa dengan perilaku dosa. Tapi, mana mungkin kita meninggalkan doa, sementara Tuhan Maha Pengampun dan Maha Pengasih. Kasih-Nya, meliputi segala sesuatu. Cinta-Nya pada kita, lebih besar dari yang kita bayangkan.

Semoga, tahun berikutnya, kita mendapatkan lebih banyak kejutan yang membuat hati kita tenteram dan penuh kebahagiaan.

Selamat tahun baru. Banyak polisi. Nggak usah nyumet mercon.

LAYANG-LAYANG


Konon, usia layang-layang lebih tua dari usia pesawat. Penemu pertamanya adalah Kamil Anton, dari Jawa Timur. Ia terinspirasi makhluk-makhluk terbang seperti burung dan kupu-kupu yang bisa melihat dunia lebih luas dari atas. Ia kemudian belajar dari berbagai burung dan kupu-kupu, dan akhirnya menemukan ide tersebut dengan kerangka dari bambu dan kulit sekaligus sayap dari dedaunan.

Semangatnya untuk bisa terbang seperti burung dan kupu-kupu, mengundang rundungan dari masyarakat. Belum lagi percobaannya yang berulang kali gagal. Dari sekian masyarakat yang menertawakan, ada dua di antara mereka yang mengasihani. Dua orang itu lantas menjadi sahabatnya.

Kamil Anton berhasil menerbangkan layang-layangnya. Ia naik di karyanya itu dan tercapailah keinginannya untuk melihat bumi secara luas dari atas. Sayangnya, dalam setiap bersosial, selalu ada yang memiliki belas kasih untuk orang di masa gagalnya, tetapi berbalik benci jika yang dikasihani lebih sukses darinya. Dua sahabat itu, mengulur tali layang-layangnya sampai tidak ada lagi yang bisa dipegangi. Benar-benar tidak ada lagi yang bisa dipegangi. Kamil Anton dan layang-layang terus melambung tinggi, mobat-mobit oleh angin yang semakin tinggi semakin wes ewes-ewes.

Ketika layangan ditarik, ia hanya merasa lebih tinggi, padahal hanya lebih dekat. Begitu layangan dilepas, ia merasa menjauh, padahal ia akan jatuh. Ketika orang jatuh, ia akan merasa keburukan yang akan terjadi. Padahal, tidak selalu. Saat Kamil Anton membayangkan kematian, justru ia jatuh di tanah yang tepat. Yaitu di tanah Amerika, di tangan seorang pria yang memiliki putri jelita, yang kemudian putri itu menjadi istrinya.

Kamil Anton tidak lagi bernama Kamil Anton, tetapi Milton Wright. Mungkin Milton adalah akronim dari namanya sendiri, dan Wright, mungkin adalah nama marga barunya, atau nama suatu produk, atau biar terkesan kece saja, secara, dia sudah jadi orang Amerika.

Milton dihargai dan dibiayai. Ia mengembangkan temuan layang-layangnya menjadi kendaraan terbang, tetapi belum sampai sempat terbang benaran seperti layang-layang. Yang kemudian menyempurnakan, meskipun tidak sampai sempurna banget, adalah dua anaknya, Wilbur Wright dan Orville Wright.

Orang sekarang merasa telah sangat berinovasi dengan membuat layangan dalam bentuk harimau, kuntilanak, hingga keranda mayat macam di televisi. Dianggapnya yang demikian itu adalah pencapaian. Milton menangis melihat itu.

Milton juga pasti marah, kisahnya direkayasa kayak gini.

KACAMATA


Bagi orang dengan penglihatan blur, tanpa kacamata akan sangat menyiksa, dengan kacamata pun tetap menyiksa. Saat makan mie instan kuah yang asapnya masih mengepul, misalnya. Jika dilepas, rabun. Jika dipakai, berembun. Beberapa orang pasrah saja dan mengabaikan ketidakjelasan itu. Toh, makanan tidak akan nyasar ke hidung atau telinga sekalipun dengan mata terpejam. Beberapa orang akan melepas dan mengelapnya dengan tisu atau ujung baju. Sebagian lagi akan menunggu sedikit reda, sehingga asap itu tidak mengganggu.

Saat berenang, kacamata akan menjadi penghalang dalam penglihatan. Tetapi perenang memiliki kacamatanya sendiri untuk membantunya mempertajam pandang dalam air.

Ada orang tanpa gangguan penglihatan, tapi tetap pakai kacamata. Ada yang bahkan tanpa penglihatan, masih pakai kacamata. Ini tidak mengherankan, karena konon, pertama kali ditemukannya kacamata, (Ditemukan dalam arti realisasi ide penciptaan kacamata untuk pertama kali. Bukan ditemukan setelah lupa naruh) adalah untuk gaya-gayaan. Maka, ada kacamata tapi tidak ada kacanya. Memang, kacamata terdiri dari kata “kaca” dan “mata”. Tapi meski tidak lagi ada kacanya, bukan berarti disebut “mata” saja. Karena tanpa ada kacamata, mata sudah disebut mata.

Kacamata memang membantu penglihatan. Namun terkadang, kacamata justru membatasi. Seperti kacamata yang digunakan kuda.

Kini, hampir semua orang memiliki kacamata masing-masing. Dengan kacamata itu, semua-mua dapat dengan sesuka mulut menyampaikan apa yang dilihatnya. Di antara mereka, ada yang memang benar-benar melihat dengan jelas, lalu mengungkapkan dengan baik. Tetapi tidak sedikit dari mereka yang sebenarnya kacamata yang terpakai hanyalah gaya-gayaan, latah, terbatasi, tanpa kaca, tanpa mata, tanpa otak, tanpa hati, tanpa penglihatan.

PAYUDARA


Semua cairan yang keluar dari tubuh manusia, rata-rata tidak baik untuk dikonsumsi. Bahkan air mata, yang seringkali menjadi gambaran suatu efek cinta, tidak bisa untuk dikonsumsi. Ya, mungkin kecuali air mata putri duyung yang konon bisa berubah menjadi mutiara. Itu pun tidak dimakan.

Belum lagi ingus. Setelah keluar dari lubang hidung, itu sungguh menjijikkan. Bahkan yang belum keluar sekalipun, kecuali di tempat sepi untuk disedot oleh pemilik hidung sendiri. Ludah, liur, congek, semua menjijikkan bagi orang lain.

Tidak bisa lagi diperdebatkan, untuk bagian yang jelas-jelas keluar dari kemaluan. Kencing, madi, wadi, apalagi tai. Sperma mungkin pengecualian, ia bisa dikonsumsi tapi bukan melalui mulut, melainkan melalui vagina.

Satu-satunya yang bisa dikonsumsi oleh hampir semua manusia dari sesuatu yang keluar dari tubuh manusia adalah air susu ibu. Agama dan Sains sepakat, itu baik untuk manusia. Tentu kecuali terdapat indikasi tertentu yang menjadikan ia tak lagi sehat. Dan tentu juga, manusia yang dimaksud adalah manusia dengan usia dua tahun ke bawah. Untuk usia dua puluh tahun ke atas, air payudara bukan lagi untuk kesehatan, melainkan untuk kenikmatan.

Payudara sebagai aurat, menjadi hal yang membingungkan. Terlebih untuk di luar salat, di hadapan sesama wanita muslimah, di sisi mahramnya, dan budak di masa lampau. Pasalnya, aurat dalam kondisi demikian adalah mulai dari pusar sampai lutut, padahal, payudara lebih wajar untuk disembunyikan daripada pusar dan lutut serta sekelilingnya, kecuali kemaluan depan dan belakang.

Kalau untuk sesama wanita, mungkin ini tidak terlalu menjadi masalah. Tetapi untuk pria, meskipun mahram, itu tidak dapat disamakan begitu saja. Memang, apa itu aurat dan mengapa harus ditutupi menjadi perdebatan panjang, tetapi tidak dapat dimungkiri, bahwa untuk menghindari sesuatu buruk adalah salah satu yang banyak disepakati. Penampakan payudara di hadapan para pria yang walaupun mahram, lebih membuka ruang fitnah ketimbang menampakkan lutut di hadapan umum. Ya kali ada orang nafsu melihat lutut tapi nggak nafsu melihat payudara. Ini untuk orang yang sama, ya. Bukan lututnya wanita cantik dan payudaranya wanita buruk rupa. Kejadian pun banyak, mahram melecehkan mahramnya. Tidak sedikit pula kasus ayah kandung yang mencederai kesucian putrinya.

Belum lagi di hadapan umum. Ini memang membingungkan. Merupakan sebuah perkembangan alami, jika wanita balig akan membesar payudaranya. Beberapa orang menganggapnya hiasan dan keindahan, lalu ia akan memakai pakaian ketat untuk menunjukkan keindahannya itu, atau membuka sedikit, atau bahkan mengumbarnya. Dan beberapa orang dari beberapa orang ini, akan merasa minder jika ukurannya tidak berkembang dengan baik. Atau rata saja. Lalu mereka akan menutupi, bukan karena menyembunyikan kebesarannya, tetapi malu karena kecil. Atau mereka malah memanipulasi dengan memakai kutang yang di dalamnya diletakkan busa agar telihat tetap montok. Yang paling ekstrem, ada yang sampai suntik payudara bahkan melakukan operasi agar mendapat ukuran idealnya.

Di sisi lain, ada yang berpikir sebaliknya. Menganggap payudara besar adalah kutukan, dan payudara kecil adalah anugerah. Karena dengan payudara yang kecil, ia akan lebih mudah untuk menutupi. Sementara payudara yang besar, akan membuatnya terbayang-bayang neraka. Memakai pakaian biasa, akan menonjol dan dianggapnya sumber fitnah. Memakai pakaian longgar, masih menyembul juga. Lalu mereka akan memakai pakaian yang sampai tidak terlihat mereka adalah manusia, atau mengurung diri di rumah saja sampai tidak tahu bagaimana rupa dunia.

Manakah sikap yang seharusnya? Ya sewajarnya saja. Toh, fikih itu relatif. Pilih saja pendapat yang sesuai. Agama pun tidak diciptakan untuk mempersulit gerak. Di sisi lain, agama juga menjaga. Bersikap sewajarnya adalah bersikap sesuai fitrah. Tidak dengan mengumbar secara berlebih sampai melunturkan harga diri, tidak juga berniat menjaga tapi malah menyiksa diri.

KURSI


Kursi. Ia adalah bahasa Arab, dan juga bahasa Indonesia. Memiliki makna yang sama: tempat duduk. Padat, kecuali di Inggris.

Meskipun menempel dengan bokong, lebih dari itu, di bawah bokong, tetapi ia tetap mulia. Ia masuk dalam Alquran, dalam satu ayat khusus yang disebut dengan ayat kursi. Itu ayat khusus, bukan ayat apa pun yang ditulis di kursi.

Konon, ayat kursi bisa untuk mengusir setan. Itu jika setannya dari golong jin. Tapi kalau setannya dari golongan manusia, tidak akan mempan. Cara yang ampuh adalah, taruh ayatnya, lemparkan kursinya.

“Kursi Allah itu luas, seluas langit dan bumi.” Demikian petikan terjemahan dalam ayat kursi. Aduh, kalimat yang aneh. Tapi memang begitulah nasib terjemahan. Apa yang ia ketahui tentang suatu kosakata, akan diterjemahkan begitu juga.

Oke, mungkin tidak apa-apa menggunakan kata “kursi”, seperti beberapa politikus yang rebutan “kursi”. Tapi itu menjadi aneh, jika “kursi” dimaknai sebagai tempat duduk.

Mereka mengatakan Kursi adalah tempat duduk Tuhan. Kata mereka juga, Kursi adalah apa yang disebut sebagai Arsy. Mereka yang lain berkata, Kursi bukan Arsy. Arsy adalah tempat duduk Tuhan, sementara Kursi adalah bancik kaki-Nya.

Anjir. Dikiranya Tuhan berbokong sehingga harus duduk. Dikira Tuhan berkaki dan bisa kesemutan sehingga butuh bancik. Itu nggak masalah sebenarnya, jika bokong dan kaki dipahami secara metafora.

Ada yang berkata, Kursi adalah kekuasaan dan kerajaan. Orang Arab, biasa menyebut kekuasaan dan kerajaan dengan Kursi. Karena biasanya, penguasa dan raja itu duduk di kursi. Ini adalah penamaan sesuatu dengan nama tempatnya. Di Indonesia pun demikian. Banyak orang rebutan Kursi, maksudnya adalah rebutan kekuasaan dan jabatan.

Ada yang berkata, Kursi adalah adalah ilmu, karena biasanya orang yang paling berilmu adalah yang duduk di kursi. Kalau yang biasa-biasa saja, biasanya selehan. Ini zaman dulu, sewaktu belum banyak toko meubel..

Tapi yang paling masuk akal, adalah, Kursi merupakan simbol keagungan Allah, seperti Kakbah yang disebut baitullah, rumah Allah. Kalaupun Kursi memang benar-benar kursi seperti kursi pada umumnya, itu sama sekali tidak menunjukkan Allah “duduk” dalam pengertian tekstual di atas kursi itu. Sebagaimana rumah Allah yang memang berbentuk rumah seperti rumah pada umumnya. Okelah nggak umum di zaman sekarang karena desainnya cuma “gitu doang”, tapi itu tetap mirip rumah, setidaknya di zaman dulu. Namun demikian, bukan berarti rumah Allah adalah “tempat tinggal” Allah dalam pengertian tekstual: tempat Tuhan bernaung dari terik matahari dan dinginnya malam, tempat Tuhan tidur atau sekadar rebahan, atau apalah aktivitas yang biasa dilakukan manusia di rumahnya.

Mahasuci Allah dari segala penyerupaan.

MIE INSTAN


“Tidak ada yang instan kecuali mie instan.” Ini bukan kalimat suci. Jadi kita bisa terserah mau membuang yang mengecualikan atau yang dikecualikan. Karena memang instan itu ada ada nggak ada.

Mie instan meskipun dinamai mie instan, sebenarnya ia tidak benar-benar instan. Untuk mie instan menjadi siap saji, ada banyak prosesnya. Menentukan merek, rebus atau goreng, rasa apa. Belum lagi masak air, itu kalau bisa. Kalau nggak bisa, ada yang berusaha untuk bisa dengan melakukan pencarian di internet. Ada yang pasrah kepada Ibu Warung untuk menunaikannya, termasuk tetek bengek berikutnya: menentukan cara membuka plastiknya, apakah disobek dengan tangan, digigit dengan gigi, digunting, atau diledakkan. Mengeluarkan mie mentah dari plaatiknya, dan menentukan lagi, apakah ia akan disirah dalam sebuah mangkuk, atau dimasukkan ke air yang mendidih. Membuka bungkus bumbunya, termasuk menentukan bagaimana cara membukanya. Mengurut minyaknya yang tidak pernah tuntas. Dimasukkan bersama atau sendiri, diaduk atau dicampur. Dikasih telur atau tidak. Kalau dikasih, telurnya diaduk atau dipisah, dimatangkan atau setengah matang, atau sepertiga matang, atau seperempat matang. Ini masih belum kita bicarakan proses marketing hingga sampai ke kita, produksi, peracikan komposisi, desain logo, pendirian pabrik, perekrutan karyawan, desain pos satpam.

Serumit itu.

Hanya mungkin karena biasa, jadinya tidak kerasa. Hal yang rumit, menjadi seperti sangat instan. Seperti orang yang tilik bayi, lalu ketemu lagi setelah 20 tahun, dan orang itu berkata, “Wah, cepet gede, ya. Kayak baru kemarin masih bayi.” Masih bayi apaan. Dua puluh tahun, Woy!

Ternyata, kita bisa biasa dengan hal-hal rumit. Hanya butuh pembiasaan untuk menjadi biasa. Kerja, jalani prosesnya, nanti kalau sudah biasa, akan biasa. Begitu pula belajar. Begitu pula ibadah.

Proses itu indah, maka nikmatilah. Sungguh malah aneh, jika proses itu tiada. Bayangkan jika tanpa proses, bayi yang baru berusia 4 jam, sudah seperti 40 tahun. Kumisnya tebal. Mulutnya bau tembakau. ASI-nya rebutan sama bapaknya. Kan aneh.

Mie instan juga begitu. Kendati instan, ia tetap lebih nikmat dengan proses. Disendoki, masukin mulut, dikunyah, menari-nari di lidah, masuk tenggorokan, melewati usus, muter-muter di usus, nyebur di lambung, berenang bersama air dingin. Mengendap. Proses selep. Dan seterusnya. Bayangkan jika tanpa proses. Mie sudah jadi, langsung jadi tai.

BOLA


Bola adalah dunia. Diraih dengan sungguh-sungguh, lalu ditendang. Dan memang begitu cara kerjanya. Ada kerjasama, tipu daya, dan persaingan, tapi berbalut aturan.

Dunia adalah bola. Jika kau mendapatkannya, jangan kausentuh kecuali kau adalah penjaga gawang. Dan apa pun posisimu, termasuk penjaga gawang, bila berhasil meraih bola, jangan dibawa pulang. Umpan ke patnermu sebagai bentuk kerja sama, kecuali kau memang satu-satunya yang mendapat kesempatan untuk memasukkan ke gawang lawan, masukkan ke gawang lawan, dan bukan dibawa pulang. Yang akan dibawa pulang, adalah kemenangan. Lebih dari sekadar bola. Lebih dari sekadar dunia.

Pemain bola, harusnya bukan manusia yang hidup di bola. Ia perlu punya kehidupannya sendiri, yang di luar bola lebih mulia daripadanya. Bola, hanyalah salah satu alat, yang dalam permainannya, harus diperjuangkan untuk didapat, tetapi bukan untuk abadi dimiliki.