Azizah dan Hasanah


Dahulu, saat saya masih kecil. Bapak pernah mengajak untuk menghadiri haul K.H. Musthofa, pendiri Pondok Pesantren Tarbiyatut Tholabah, Kranji. Penceramahnya ketika itu adalah Gus Dur.

Di awal-awal ceramahnya, sebagaima biasa, Gus Dur menyuguhkan aneka anekdot sebelum masuk ke materi pengajian. Antara lain yang masih saya ingat dari rangkaian anekdot itu adalah:

Ada seorang pria bersama istrinya, Azizah, menunaikan haji. Saat tawaf, ketika membaca doa “Rabbana Atina fid Dunya Hasanah wa fil Akhirati Hasanah.” Istrinya nesu. 

“Mengapa kamu nesu?” Suaminya bertanya.

Setelah mengerucutkan bibirnya agak lama, Azizah menjawab, “Sejak semula kamu memang lebih naksir sama Mbak Yu Hasanah. Sampai-sampai ke Mekkah pun kausebut-sebut namanya. Ngarep banget ya sama dia?”

Mungkin karena termasuk dalam komunitas suami-suami takut istri, lalu pria itu pun mengganti doanya, “Rabbana Atina fid Dunya Azizah. Wa fil Akhirati Azizah.” 

Cerita itu sudah terpatri dalam benak saya selama lebih kurang 20 tahun. Dan selama itu saya terus-terusan berprasangka buruk pada Azizah. Saya pikir, Azizah adalah orang yang tidak pernah ngaji.

Hingga akhirnya, setelah saya baca-baca kitab tafsir. Ehm. Cie, dong… Antara lain dalam Al-Kasysyaf, karya Al-Zamakhsyari, dalam menafsirkan ayat ini mengutip sabda Sayyidina Ali: “Rabbana Atina fid Dunya Hasanah: Tuhan Pemeliharaku, anugerahkanlah aku perempuan yang cantik paras dan perangainya. Wa fil Akhirati Hasanah: Dan anugerahkanlah aku bidadari-bidari yang jelita. Wa Qina Adzabannar: Dan jauhkanlah aku dari wanita yang buruk rupa.”

Dan kemarin saya baru tahu. Ternyata Azizah memang tidak lebih cantik dari kakak perempuannya, Hasanah. Dan agaknya, ia sudah tahu tafsir ayat itu sejak lama.

Pesan moral yang dapat diambil dari tulisan indah ini adalah:

1. Jika Anda makhluk lajang (baca: jomblo) Anda bisa berdoa dengannya untuk mendapatkan istri yang cantik. 

2. Jika Anda seorang istri yang belum siap suaminya menikah lagi, pantaulah suami Anda untuk tidak terlalu sering berdoa dengan ini. Apalagi Anda tidak cantik. Apalagi bacanya di Mekkah. Wah.. Bahaya, Jeng. Doa di sana mustajab, loh. Anda bisa tersingkirkan.

Serban, Jubah, dan Serba-Serbi Ramadan


Ramadan. Bukan Ramadhan. Bukan Romadhon. Bukan Romadlon. Apalagi Ramelan. 

Jangan duga ia hanya sekadar kata. Ia adalah nama. Harus ditulis dengan sebenarnya. 

Memang, banyak sekali istilah dalam bahasa Indonesia yang diserap dari bahasa Arab. Tapi karena sudah diserap, maka harus benar-benar terserap. Harus mengikuti aturan bahasa Indonesia. Dan dalam bahasa Indonesia, hanya ada empat gabungan huruf yang melambangkan satu konsonan, yaitu: kh, ng, ny, dan sy. Maka tidak ada dh, dl, dan lain sebagainya (seperti sh, dz, gh, th, ts, dll). Juga, dalam aturan serapan, bacaan tebal dalam huruf-huruf Hijaiah yang memiliki baris atas (fathah), harus ditulis dengan “a”, bukan “o”. Meskipun cara bacanya boleh tetap dengan “o”. Tulisannya “Ramadan”, tapi boleh dibaca “Romadhon” sesuai versi Arabnya: رمضان

Salat. Bukan shalat. Bukan sholat. Bukan solat.

Tarawih. Bukan teraweh. Bukan tarweh. 

Isya. Bukan Isyak. Bukan Isya’.

Subuh. Bukan Shubuh.

Zuhur. Bukan Dzuhur. Bukan Juhur.

Asar. Bukan Ashar.

Magrib. Bukan Maghrib. 

Musala. Bukan mushola. Bukan mushalla. 

Alquran. Bukan Al-Qur’an. Bukan al-Quran. 

Hadis. Bukan Hadits.

Khataman. Bukan qotaman. 

Empat juz. Bukan empat milyar campuran. Lucu ya, orang-orang itu. Istilah-istilah keberagamaan digunakan sebagai istilah kezaliman.

Ustaz. Bukan ustad. Bukan ustadz. Bukan ustas. Bukan ustak. Banyak orang memanggil saya “Ustadz”. Saya katakan pada mereka, “Jangan panggil saya ‘Ustadz’.” Mungkin mereka kemudian menduga saya Tawadu. Padahal yang saya kehendaki, “Panggil saya ‘Ustaz’, bukan ‘Ustadz’. Itu tidak sesuai dengan KBBI.”

Kiai. Bukan kyai. Bukan kiyai.

Kultum. Bukan qultum.

Tausiah. Bukan taushiyah.

Nasihat. Bukan nasehat. Bukan nashihat.

Istigfar. Bukan istighfar. Bukan istipar. 

Doa. Bukan do’a. Bukan du’a’. Doa istri salehah. Bukan dua istri yang manja.

Amin. Bukan Aamiin. Bukan Amien Raies. Bukan Amintabah.

Iktikaf. Bukan i’tikaf. 

Istikamah. Bukan istiqamah. Bukan istiqomah.

Beduk. Bukan bedug. Bukan beud.

Azan. Bukan adzan. Bukan ajan.

Sahur. Bukan saur. Bukan sakur.

Buka puasa. Bukan buka katok. Tapi ada juga, sih, riwayat yang menganjurkan agar buka puasa dengan “buka katok”. Lalu mandi besar, salat Magrib, makan, salat Isya, Tarawih, lalu melanjutkan ibadah-ibadah lainnya dan tidak terganggu lagi dengan tema “buka katok”. 

Serban. Bukan surban. Bukan serbet.

Jubah. Bukan Jubaidah. Kalau digoyang, uh ah uh ah.

Kesantunan Berdakwah


Jangankan FPI. Kepada ISIS, saya pernah menyuarakan pembelaan terhadap mereka di atas sebuah podium. “Umat Islam telah tertindas. Kita tidak bisa terus menerus membiarkan kewibawaan terampas. Apa yang dilakukan ISIS adalah kebenaran.” 

Begitu turun dari panggung dengan bersambut riuh tepuk tangan hadirin, Habib saya berdiri. Matanya merah berkaca-kaca. Telapak tangannya yang keriput oleh usianya yang hampir seabad bergetar menghampiri wajah saya. Saya “ditabok” dan “ditapok” berkali-kali. Di hadapan para hadirin. 

“Apakah kau sudah berputus asa pada kedamaian?” tuturnya dengan suaranya yang parau bernada gemetar.

Kemudian saya diseret ke Ndalem salah satu Zurriyah Rasul itu. Saya didukani panjang lebar. Dari selepas jamaah Isya sampai hampir jam 12 malam.

Ini terjadi pada 2015. Sehingga, tidak mungkin saya mengingat secara detail setiap kalimatnya. Namun, semoga apa yang saya tulis ini tidak terlalu jauh, atau sekurang-kurangnya mampu melukiskan aroma percakapan malam itu. 

“Memang, tidak seratus persen mereka salah. Ada beberapa sisi yang bagus, yang dapat kita teladani dari mereka. Seperti salat jamaahnya. Kedisiplinan. Dan, keberanian. Mereka ini memiliki mental yang luar biasa. Hanya saja, semangatnya melebihi ilmunya. Dan ini yang paling berbahaya.

“Dalam berdakwah, di antara aneka syarat yang harus dipenuhi adalah ilmu. Ngendikane Allah, ‘Qul Hādzihī Sabīlī Ad’ū ila Allah. ‘Ālā Bashīratin Ana wa Man Ittaba’anī.’ Rata-rata ulama ndarani makna ‘Bashīratin‘ adalah ilmu. Nah, mereka ini salahnya di situ. Terlalu semangat. Bahkan semangatnya melebihi Nabi.”

Habib berhenti lama. Memandang jauh ke arah Gereja yang kerlip neon di atas kubah salibnya menyentrong di antara kegelapan malam. “Lihatlah Gereja itu. Memang saat ini belum terlalu banyak pengikutnya. Tapi bisa saja sepuluh tahun ke depan, justru kita yang akan menjadi penganut minoritas. Mereka telah merencanakan sesuatu yang sangat agung.”

“Lalu apakah kita akan diam saja, Bib?”

“Kita tetap harus bersaing. Kita harus berjuang. Dakwah itu wajib. Tapi harus dengan cara yang santun. Seperti dakwahnya Rasulullah. Seperti dakwahnya Wali Songo. Kristen sudah mulai menerapkan itu. Dan hasilnya luar biasa. Sedikit-sedikit mulai banyak yang berpindah kepercayaan. Mereka berhasil memulangkan domba ke kandangnya melalui rumput kasih sayang.

“Dulu, Rasulullah juga pernah jengkel dalam berdakwah. Menggebu-gebu. Hampir berkali-kali darah beliau naik. Tapi cepat-cepat Allah menegur. ‘Seandainya kamu bersikap kasar dan berhati keras, niscaya orang-orang akan menjauh darimu.’ Rasulullah juga pernah hampir seperti FPI gitu. Memaksakan kehendaknya sendiri. Tapi Allah kemudian berfirman, ‘Apakah engkau akan memaksa manusia sampai mereka mau beriman?’ Firman-Nya yang lain, ‘Tidak ada paksaan dalam masuk Islam.’ Rasulullah juga pernah jengkel banget. Gemes sama orang yang demikian durhaka, ternyata malah dia masuk Islam. Tapi ada yang senantiasa membantu dalam berdakwah, yang Rasulullah sangat ingin dia masuk Islam, tapi tidak Islam-Islam. Lalu Allah berfirman, ‘Kamu tidak bisa memberi petunjuk berupa tuntunan hati memasukkan orang ke dalam Islam siapapun orang yang kauinginkan, tapi Allahlah yang menuntun siapa saja yang dikehendaki-Nya, menuju Islam.’ Artinya apa? Kewajiban kita hanyalah berdakwah. Mengatakan yang benar itu benar, yang salah itu salah. Islam itu tegas, bukan keras.

“Dari sekitar tiga puluh peperangan yang diikuti Rasulullah, delapan belas di antaranya tidak ada pertumpahan darah. Karena di setiap peperangan, Rasulullah selalu menawarkan perdamaian. Dan jika perdamaian tidak dapat diterima, para sahabat baru boleh melakukan perlawanan, itu pun harus dalam batas kewajaran. Bukan dengan berlebih-lebihan.”

“Lalu apa yang harus saya lakukan saat ini, Bib?”

“Anda ini orang yang sangat berbahaya. Sekarang, persiapkan semuanya. Lancarkan hafalan Anda. Matengkan lagi baca kitab Anda. Dan tahun ini, Anda harus berangkat ke Mesir.”

Habib berdiri. Mengisyaratkan kesudahan obrolan ini. Lelaki tua itu merenggangkan tangannya. Saya menenggelamkan diri di pelukannya. 

Lirih, Habib berdesis di telinga saya. Terasa sedikit isak dalam nada bicaranya. “Saya menaruh harapan yang besar pada Anda. Anda adalah andalan saya.”

Mata saya basah. Meluber memenuhi bumi Jakarta.

​Perihal Manut Guru


Saya belum pernah menerima pertanyaan lucu selucu ini: “Jika kiai saya menyuruh begini, apakah saya boleh begitu? Apakah jika kiai saya begitu, saya boleh begini?”
Ini bukanlah perkara hitam putih. Ada demikian banyak warna dalam jawaban dari pertanyaan Anda. Insyaallah saya akan meringkasnya dalam satu postingan berikut ini:

Pertama. Dalam hal kewajiban, apa yang diperintahkan oleh guru harus dilaksanakan. Antara lain perintah yang berkaitan dengan syariat: salat fardu, puasa Ramadan, zakat, dan lain sebagainya. 

Atau dalam dunia pendidikan. Jika guru memerintahkan mengerjakan PR, maka wajib bagi murid untuk menunaikannya. Jika Kiai memerintahkan hafalan Alquran, hafalan Hadis, hafalan nazam-nazam, mantan-matan, dan lain sebagainya, maka itu wajib ditaati.

Kedua. Jika berhubungan dengan sesuatu yang mubah, kita bisa memilih. Misalnya kiai Anda suka Madrid, Anda juga boleh suka Madrid. Tapi tidak wajib. Anda juga boleh njago Celsi, EmYu, Liferpul, ataupun Persela. 

Tapi biasanya, dalam kategori kedua ini, secara otomatis, seorang santri akan tertular dengan kiainya. Seperti cara duduknya. Cara dehemnya. Bagaimana memejamkan mata. Intonasi suaranya. Berjalannya. Lagu sewaktu maknani kitabnya. Yang semacam ini terserah santri mau niru kiainya atau tidak.

Ketiga. Jika berhubungan dengan apa yang dilarang oleh agama dan buruk dalam sudut pandang budaya, maka harus ditolak.

Misalnya, seorang santri putri yang diajak jimak (baca: ngencuk) oleh kiainya tanpa dinikahi terlebih dahulu. Maka santri itu wajib menolaknya. 

Bagaimana jika diiming-iming ilmu yang berkah?

Pilih uangnya saja. Eh, maksud saya, tinggalkan saja. Bahkan ketika ia mengutukmu sebagai ilmumu tidak akan bermanfaat, tinggalkan saja.

Guru yang sering mendoakan tidak bermanfaatnya ilmu, hindari saja. Tidak ada keberkahan dalam dirinya.

Seumpama pula. Hanya umpama. Seorang kiai mengajak para santrinya untuk Aksi Bela Raisa di Monas, dengan tuntutan penjarakan tunangannya, sekaligus potong tangan dan kakinya untuk berbuka puasa. Hanya karena keceplosan ngomong bahwa jangan mau berbuka pakai kurma 51, lalu difitnah menista kurma. Maka hal seperti ini wajib dihindari.

Bagaimana jika guru saya itu wali?

Sewali-walinya, kau tidak akan tahu kewalian seseorang kecuali kau juga wali. Atau kecuali Allah memberitahumu bahwa dia itu wali sebagaimana Musa diberitahu bahwa Khidir itu wali. 

Namun demikian, jika pun yang bersangkutan adalah wali, hukum syariat tetap berjalan. Itu sebabnya al-Hallaj, walau dalam sudut pandang hakikat dia benar, tapi dalam syariat tetap harus dihukum. Demikian pula yang terjadi pada Maulana Siti Jenar di tanah Jawa.

Apalagi yang kewaliannya gak jelas. Ukuran kewalian itu tidak bisa dihitung dari jumlah pengikutnya, Cuy. 7 juta lah. 7 juz campuran lah. Apalagi pengikut bayaran. Sego bungkusan. Segonya habis. Wes warek. Segonya diboikot.

Andaipun kewaliannya jelas. Kalau ketahuan makar, atau menghina pancasila, atau menista agama sebelah, atau menghina kepala negara, atau menghina ibunya kepala negara, atau berbuat mesum, harus tetap melalui proses hukum. Dipanggil, datangi. Jangan menghindar terus. Kemarin aja ngrengek-ngrengek minta si Cino segera diadili. Emangnya nggak kangen sama Dek Firza?

Item yang ketiga ini yang harus paling tebal digarisbawahi. Karena banyak yang kemudian kecelik.

Bahkan jika seorang kiai sangat ngalim dalam bidang agama, jangan kemudian mengamini setiap fatwanya terkait apa yang tidak diketahui. Misalnya tentang ormas preman. Kiai itu tidak tahu. Tahunya hanya dari orang, bahwa ormas preman itu menegakkan amar makruf nahi mungkar. Atau dia terlalu tahu, sehingga terbutakan oleh gemerlap kegelapannya.

Jangankan kiai, Rasulullah pun, tidak harus Anda ikuti setiap lelampahannya. Jika Rasulullah pipis dengan jongkok, kamu jangan ikut jongkok di tempat pipis berdiri karena alasan meniru Rasulullah. Jika Rasulullah buang air besar dengan jongkok, kamu jangan kemudian jongkok di WC duduk karena alasan meniru Rasulullah. Rasulullah kalau berbuka puasa pakai kurma. Kalau kamu adanya ote-ote, kolek, kopi karo udut, ya nikmati saja.

Selamat beramadan.

Prof. Dr. K.H. M. Quraish Shihab Nyambangi Santri-Santri BQM


MQS BQM

NUHIDIYAH.NEWS, KAIRO – Usai menghadiri muktamar pada Kamis dan Jumat (27-28/4/2017), esok harinya, Sabtu (29/4) Prof. Dr. K.H. M. Quraish Shihab menyempatkan diri menemui para santri Bayt al-Quran Mesir, alumni Bayt al-Quran-Pusat Studi al-Quran Jakarta yang melanjutkan studi di Mesir.

Pak Quraish—demikian sapaan akrabnya—mengundang para santri untuk hadir ke Hotel Fairmont Kairo. Lumrahnya “bapak” yang menyambangi “anak”, perjumpaan itu terasa demikian teduh nan hangat. Tiga puluh lima menit pertama, ruangan itu penuh dengan canda dan tawa. Cendekiawan muslim yang populer dengan tulisan-tulisan serta kajian-kajian serius itu bercerita tentang peristiwa-peristiwa jenaka masa-masa saat ia di Mesir dengan penuh humor. Hampir tanpa jeda para santri dibuatnya terpingkal-pingkal.

Menit-menit selanjutnya, Pak Quraish bertanya tentang keluhan-keluhan santrinya. Dan setelah hampir satu jam, barulah beliau mulai berbicara hal-hal yang serius.

“Al-Azhar itu wasatiah. Kita harus menghormati semua pendapat. Walaupun, pendapat itu tidak dapat disetujui. Wong Tuhan saja memberi kebebasan. Fa Man Syāa Fal Yu’min. Wa Man Syā’a Fal Yakfur. Siapa pun yang mengucapkan dua kalimat syahadat, maka dia muslim, meskipun tidak salat. Saya ditanya tentang ISIS. Saya menjawab, ISIS muslim, tetapi dia muslim yang durhaka,” tutur Pak Quraish.

Direktur Pusat Studi al-Quran (PSQ) itu juga memaparkan bahwa di Pusat Studi al-Quran, semua pendapat kita terima. Tapi, kita punya pendapat yang kita anut. Pendapat yang kita anut itu adalah pendapat Ahlussunnah wal Jamaah. Tetapi kita tidak kafirkan Wahabi, walaupun kita tidak setuju. Kita tidak kafirkan Syiah, walaupun kita tidak setuju.

Wasatiah adalah keberagamaan yang paling sulit. Anda yang ingin menganut dan mengamalkan paham ini, ada dua yang harus sangat diperhatikan, dan itu yang sangat menyulitkan. Yang pertama adalah ilmu. Dan yang kedua adalah kemampuan mengendalikan emosi.

Pak Quraish memberikan sebuah ilustrasi. “Jika ada sejumlah orang, dan Anda mau mencari siapa yang berada di tengah, hal pertama yang harus Anda lakukan adalah mencari tahu berapa orang yang ada di sana, berapa yang bukan orang, dan berapa bayangannya. Anda harus tahu persis, itu orang yang harus dihitung, atau itu bayangannya.”

“Kenapa di mana-mana ada orang ekstrem?” lanjutnya dengan pertanyaan retorik. “Karena ilmunya kurang. Boleh jadi dia hanya mengira ada lima orang. Sehingga ia menunjuk tiga lah yang di tengah. Tapi kalau tujuh orang? Sudah salah jika tiga dikatakan yang di tengah. Karena itu Anda harus tahu.”

Pakar tafsir kebanggaan Indonesia tersebut mengatakan bahwa penyebab utama kekerasan adalah karena keterbatasan ilmu. “Dia pikir hanya ini pendapat. Dia hanya tahu yang ini. Padahal yang ini dan yang itu sama. Hanya redaksinya yang berbeda.”

“Saat ini banyak orang yang tidak memiliki keduanya. Tidak punya ilmu. Emosi semangatnya lebih hebat dari Nabi saw. Nabi dulu juga begitu semangatnya, tapi kemudian ditegur oleh Tuhan, La’allaka Bākhi’un Nafsaka An Lā Yakūnū Mu’minīn.”

“Didiklah diri Anda untuk paham, dan kendalikan emosi,” tegasnya lagi.

Nasihat lainnya yang diberikan Pak Quraish pada para mahasiswa al-Azhar itu adalah, bahwa kita sudah tidak bisa lagi berpegang sepenuhnya dengan pendapat lama. Kita akan ketinggalan. Ada hal-hal baru yang perlu kita lihat.

Riwayat selain Alquran, hampir semuanya bisa diragukan kebenarannya. Orang-orang memercayai bahwa Hadis Mutawatir dijamin kebenarannya. Tapi, Syekh Muhammad Abduh berkata, “Suatu berita yang menyenangkan, memiliki potensi banyak yang menceritakan. Sehingga, jika cerita menyenangkan itu diceritakan oleh banyak orang tetapi bohong, maka tidak harus kita menerimanya.” Dalam hal ini, Muhammad Abduh memberi contoh Hadis Mutawatir tentang al-Kautsar, bahwa ia adalah telaga di surga.

Semua riwayat dapat diragukan, kecuali Alquran. Karena Alquran selain mutawatir, ia juga dijaga oleh Allah swt. dan dijamin kemurniannya.

“Apakah semua dalam Bukhari itu benar?” Kembali Pak Quraish bertanya dengan pertanyaan retorik. “ Bahkan Imam Muslim memiliki kritik terhadap sahih Bukhari. Ada orang-orang yang dipakai oleh Imam Bukhari, tapi dianggap daif oleh Imam Muslim.”

Belajar. Berusaha objektif. Carilah pandangan yang bisa mempersatukan.

Sudah tidak bisa lagi Anda hidup dengan pemikiran-pemikiran masa lalu. Jangan lagi berbicara soal mayoritas dan minoritas. Karena mayoritas dan minoritas cenderung membeda-bedakan. Padahal kita semua sama dalam berkewarganegaraan.

“Semua bisa salah, semua bisa benar. Ada yang benar sebagian, sebagiannya salah. Bisa juga yang berbeda-beda itu benar semua. Tuhan tidak bertanya lima tambah lima berapa. Tapi, Tuhan bertanya sepuluh itu berapa tambah berapa,” pungkasnya. (tw/hd)

Tentang Musik


Tengah malam, seorang gadis berhijab kelam mendatangiku dengan isak tangis melalui sebuah surel. Ia mengadu tentang musik. Gadis itu pada mulanya penggemar musik. Setiap gerak-geriknya seperti film. Ada soundtrack-nya. Lalu tiba-tiba nasihat mentah mendatanginya. Musik haram! katanya. Hidupnya berubah sepi. Lebih sepi dari hari raya nyepi. Mungkin seperti nonton televisi dengan mode mute. Atau malah seperti radio yang tidak dicolokkan dan tidak pakai batre. 

——

Aku ingin menjawabnya dengan sebuah musik.

%€£¥₩%~`♡☆

Tet treretet tetet tetet dun tak dundung joss..

Aku mau bicara soal musik

Tentu saja bagi penggemar musik

Di mana-mana, di atas dunia, banyak orang bermain musik

Bermacam-macam itu jenis musik

Dari yang pop sampai kelasik

Memang dengan adanya musik

Dunia ramai jadi berisik

Tapi kalau tak ada musik

Dunia sepi kurang asyik.

— K.H. Rhoma Irama

——-

Aku juga ingin membahasnya dalam sudut pandang keagamaan. 

Musik adalah nada atau suara yang disusun demikian rupa sehingga mengandung irama, lagu, dan keharmonisan (terutama yang menggunakan alat-alat yang dapat menghasilkan bunyi-bunyi itu).

Ulama berselisih pendapat soal hukum musik. Ada yang berkata musik haram. Seperti Qadi Abu Thayyib al-Thabari, Syafii, Maliki, Abu Hanifah, Sufyan, dll. Namun, pendapat tersebut disertai ‘Illat atau Amrun Khārijī : karena pemusik atau pendengarnya biasanya menggunakan musik sebagai soundtrack dalam berzina dan bermabuk. 

Ada yang berpendapat tidak haram, selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang telah ditetapkan dalam agama dan budaya. Menurut Abu Thalib al-Makki, para sahabat Rasulullah saw. seperti Abdullah bin Jakfar, Abdullah bin Zubair, Mughirah bin Syukbah, Muawiyyah, dan sahabat lainnya, mereka suka mendengarkan musik. 

Musik dan tarian–lanjut Abu Thalib–sudah mentradisi di kalangan Tabiin dan Salafunā al-Shāihīn. Bahkan saat al-Makki berada di Mekkah, tatkala berlangsung peringatan hari-hari istimewa, orang-orang Hijaz merayakannya dengan pagelaran musik.

Jika mendengarnya menjadikan pendengarnya misalnya tiba-tiba ingin bunuh diri, atau ingin membunuh orang, atau ingin mencium istri orang dan membunuh suaminya, dan sampai melakukannya, maka jelas itu haram.

Jika pendengarnya justru merasa damai, tenang, ayem, semakin semangat beribadah, semakin bertambah kecintaannya pada Sang Pencipta, maka mendengarkannya sangat dianjurkan.

Bahkan, Maulana Jalaluddin ar-Rumi menggunakan musik dan tarian mawlawiyahnya sebagai jalan mendekatkan diri pada Tuhan.

Dalam Alquran maupun Hadis, tidak ada yang secara mutlak mengharamkan musik. Secara mutlak loh ya, bukan dengan kias maupun takwil. Dan anehnya, yang menghukumi musik haram mutlak ini, biasanya tidak setuju dengan kias dan takwil.

Sesungguhnya musik tidaklah memiliki hukum. Ia seperti kicauan burung, deru mobil, derit pintu, suara gelas kaca yang pecah, atau gemeretak hati yang patah karena cinta. Hukumnya timbul bersama akibat yang datang bersembari atau seusai mendendangkan atau mendengarkannya. 

Jika musik dipaksa untuk dihukumi. Maka hukumnya mubah. Al-Ashlu fī al-Mu’āmalah al-Ibāhah. Illā Mā Dalla Dalīlun ‘alā Tahrīmihā.

Memang, ada Hadis yang seolah menyinggung keharaman musik. Seperti, “Akan datang masanya, orang-orang menghalalkan khamer, zina, dan ‘alat-alat’ musik.”

Ya.

Khamer haram. Karena memabukkan. Yang bukan khamer juga haram jika memabukkan. Seperti narkoba, ganja, atau senyuman manis dari bibir merahmu. Dan khamer yang sudah tidak memabukkan, maka tidak lagi haram. (Yakni ketika sudah menjadi cuka).

Memasukkan penis pada vagina perempuan itu haram, karena mampu mengakibatkan rusaknya nasab dan menyebabkan beragam penyakit, termasuk gangguan psikologis. Tapi jika sudah melalui pernikahan, maka tidak lagi haram.

Musik juga bisa haram, karena berpotensi menjerumuskan maksiat dan kelalaian. Tapi jika digunakan untuk mengiringi selawat, memuji Tuhan, pengiring belajar, pengantar tidur, menyegarkan otak, atau sesuatu yang bermanfaat lainnya, maka keharamannya pun hilang.

Ketika tujuh pemuda dikejar oleh pemerintah yang zalim, mereka bersembunyi di dalam gua. Lalu Allah memutar musik untuk mereka agar tertidur dengan nyenyak. Selama tiga ratus tahun. Mereka adalah Ashabul Kahfi yang kisahnya diterakan dalam kitab suci.

Orang yang hidupnya mulia, akan mampu merasakan keindahan-keindahan hidup, keindahan-keindahan takdir. Saat ada vokalis hadrah yang njungkel dalam koreografinya atau penabuh bas yang nggeblak, mereka akan merasakan keindahannya.

Orang yang hidupnya penuh kebencian, akan tersenyum sesisi sambil nyinyir, “Inikah yang mereka persembahkan pada Tuhan? Cuih!”

Orang yang hatinya suci, saat melihat pengamen menghampirinya, akan datang padanya rasa iba, lalu memberi sebagian harta yang dititipkan Tuhan untuknya.

Orang yang hatinya buruk, kotor, dan bernanah, saat dihampiri pengamen, wajahnya akan membiru penuh murka, lalu ia mengeluarkan nasihat-nasihat agama yang bukan pada tempatnya. “Musik itu haram. Qola Tangala. Qola Mokammat.”, “Musik haram!”, “Masih muda sudah meminta-minta.”, “Neraka!!!”. 

Ya Akhi Fillah, larangan meminta-minta itu untuk peminta. Perintah memberi itu untuk pemberi. Jangan dibalik-balik. 

Mereka sudah mempermalukan diri dengan meminta-minta–jika engkau bersikukuh mengatakan pengamen adalah peminta-minta–maka jangan lagi kaupermalukan ia dengan jidat hitam dan jenggot berantakanmu yang menutupi kedangkalan otakmu.

Mereka menyuguhkanmu dengan keindahan musik, tapi kau membalasnya dengan kotoran yang kaubungkus dengan agama. 

Jika mereka berhenti menjadi pengamen karena rasa malu lalu berpindah profesi jadi pencuri atau perampok piye jal?

TAHUKAH ANDA?

Pejabat yang korupsi itu, mereka tidak suka musik. Saat menjalankan aksinya, semua musik dimatikan. Sunyi. Dan tiba-tiba harta negara lenyap begitu saja.

Foto Bareng “Agama di Penghujung Senja”


 

 -Sujiwo Tedjo, Budayawan, Presiden Jancukers.

*****

 -Imam Sibawaih El-Hasany, Penulis Syarah al-Hikam, Pengasuh Pesantren Semesta Inayatullah.

*****

 -S.J. Tsurayya, Novelis, Penulis novel “Jurnal Cinta Andromeda”.

*****

-Masyhari, Penulis, Dosen IAIN Sunan Nurjati Cirebon.

*****

 -Muhammad Maulana MalikPengajar di Pesantren Tarbiyatut Tholabah.

*****

 -Asy_Syaibani, Penulis kumpulan cerpen “Filosofi Nasi Kuning”.

*****

-Asnal Hadi, LC., Mahasiswa Pascasarjana Universitas al-Azhar Kairo.

*****

Perempuan Kuat, Perempuan Lemah


Dalam derajat keagamaan, lelaki dan perempuan memang memiliki porsi yang sama. Tapi dalam kehidupan, bagaimana pun juga, lelaki dan perempuan sama sekali berbeda. 

Di satu keadaan, perempuan memang lebih kuat. Mereka lebih kuat dalam hal perasaan. 

Perempuan sanggup bertahun-tahun menyembunyikan rasa cintanya. Sesekali mereka memang diam-diam memberi kode, tapi meski lelakinya gak peka-peka, mereka akan tetap kuat bertahan untuk mencintai dalam diam, kecuali perempuannya sudah benar-benar gatel dan basah. 

Perempuan lebih kuat dalam hal kesetiaan. Survey membuktikan, perempuan yang ditinggal suaminya, oleh perselingkuhan maupun kematian, 75% mereka lebih memilih menjanda. 50% memang karena serius merawat anak dan meyakini dirinya mampu menjadi single parent yang luar biasa, tapi 25% lainnya bilang, katanya janda lebih menggoda. 

Sementara lelaki yang ditinggal istrinya, oleh perselingkuhan maupun kematian, 75% mereka akan menikah lagi, 25% nya memilih untuk menduda dalam 40 hari, setelah itu nikah lagi. Ada yang belum ditinggal istrinya, sudah menikah lagi, ada yang dengan izin istrinya, ada yang diam-diam sampai tujuh tahun baru ketahuan.

Perempuan setengah lelaki, atau perempuan pencilakan binti petakilan binti kurang belaian, akan memrotes kitab suci atau meminta agar ayat-ayat bidadari ditafsir ulang. Kata mereka, ayat-ayat bidadari terlalu mendiskreditkan perempuan. Tapi perempuan yang anggun, tidak akan mempermasalahkan itu. Mereka bahkan tidak peduli. Karena perempuan sejati adalah perempuan yang kuat bertahan dengan satu cinta.

Kata orang, perempuan lebih rela suaminya menikah lagi daripada ia diceraikan dan menikah dengan orang lain yang tidak dicintai.

Namun, di keadaan yang lain, perempuan adalah kelemahan dan ketidakberdayaan.

Logika perempuan lebih lemah dan dangkal. Survey membuktikan, perempuan yang sudah jatuh cinta pada lelakinya, 80% rela mempersembahkan itunya pada kekasihnya meskipun belum dinikahi. Logika mereka sangat lemah dan tidak mampu berpikir walau dalam jarak satu menit kemudian. 20% lainnya, yang nggateli namun tetap memegang prinsip keagamaan, akan berkata, “Halalkan atau tinggalkan!”, yakni halalkan dengan cara menikahiku, agar kita lebih leluasa berbuat begitu. Atau tinggalkan, yakni tinggalkan kecupan atau sekadar cupangan saja. Jangan lebih dari itu. Dosa.

Dan yang paling penting untuk diperhatikan adalah, perempuan memiliki fisik yang tidak lebih kuat daripada lelaki. Maka lelaki yang paling jahat adalah lelaki yang membiarkan perempuannya lelah. Dan apabila perempuan sampai mengeluh “Hayati lelah, Bang.” Ketika itu lelaki akan mendapat laknat sampai Subuh.

Beberapa hari yang lalu, Nabi Musa as. melihat dua orang yang berseteru. Jiwa nasionalis kesukuan yang mendarah daging dalam dirinya membuat ia lupa untuk bertanya siapa yang bersalah. Musa langsung membela saudaranya, dan memukul lawannya. Tangannya yang kekar itu ditinjukan pada lawan, dan hanya dengan sekali pukulan tepat pada nadi kehidupan, yang dipukul langsung kejang-kejang, terus mati. 

Masyarakat Qibti umup otaknya. Nyawa harus dibalas nyawa. Mereka merencanakan balas dendam untuk menghabisi Musa. 

Musa pun pergi dari Mesir mencari keselamatan. 

Langit mendung, mengakibatkan jaringan internet mengalami gangguan. GPS-nya tidak berfungsi, Musa pun berlari tanpa tahu ke mana arah ia berlari.

Sampailah ia di Madyan. Di sana ia melihat kerumunan orang sedang memberi minum ternaknya. Sementara tidak jauh darinya ada dua gadis yang menghalau ternak-ternaknya.

Musa menghampiri dua gadis itu dan bertanya, “Ada yang bisa saya bantu?”

Dua gadis itu tersipu. Dengan menunduk dan mengucek-ucek ujung bajunya, salah satu dari mereka angkat bicara, “Kami hendak mengambil air untuk minum ternak kami. Dan tentu kami harus menunggu orang-orang itu selesai memberi minum ternak-ternaknya. Kami tidak punya saudara laki-laki. Sementara ayah kami sudah demikian sepuh.”

Sekonyong-konyong Musa menerobos kerumunan orang-orang dan mengambilkan air untuk minum ternak dua gadis itu. Kelak, salah satu dari dua gadis ini yang akan menjadi istri Musa. (Selengkapnya, nantikan buku terbaru saya: “Alquran Bercerita” yang akan segera terbit).

Jadilah Musa, jangan jadi pengerumun danau yang tidak memiliki belas kasih pada wanita.

Jadilah lelaki yang membawakan barang belanjaan istrinya, jangan menjadi lelaki yang membiarkan istrinya otong-otong belanjaannya sendiri. Kasihan, sudah ke mana-mana membawa dua gunung, masih harus membawa yang lain.

Jadilah lelaki yang kuat, yang tidak membiarkan perempuan berdiri di dalam bis, sementara Anda enak-enakan duduk seperti orang tidak punya dosa. Badan gede duwur, weteng kotak-kotak, kalau tidak bisa berdiri yo sami mawon, Cak. 
Dalam Alquran, lelaki yang sempurna disebut dengan ar-Rijāl, mereka memiliki sifat Qawwāmūn. Qawwamūn bukan hanya berarti mampu berdiri. Kalau lelaki hanya bisa berdiri, itu namanya Zakar. Rijāl yang Qawwāmūn adalah lelaki yang mampu mengayomi perempuannya, meneduhkan, mengamankan, menenangkan, dan menunaikan segenap tanggung jawab kelelakiannya. 

Puncak kerapuhan lelaki adalah ketika sudah tidak bisa berdiri lagi. Dan lelaki yang tidak kuasa berdiri saat melihat perempuan, ketika itu ia menderita penyakit yang sangat kronis. Lemah. Dan perlu dihajar jahannam.

Bakasan Selangkangan Dalam Perspektif Agama


Sini, Kang. Saya baru saja menyedu kopi. Tidak banyak, hanya satu cangkir kecil bertutup pentil, semoga cukup untuk menghilangkan penat yang kauderita. Tidak manis, agar nikotin dalam paru-parumu akibat rokok yang kaukonsumsi ternetralisir. Seruputlah pelan-pelan dan jangan terlalu agresif. Nikmati pahitnya, nikmati sensasinya.
Saya ingin memberitahumu sedikit tentang sopan santun. Dengarkan, dan anggukkan kepala jika sudah paham!

Sopan santun adalah Adab. Dari bahasa asalnya, Adab memiliki arti sastra. Orang yang kualitas sastranya baik, mampu meletakkan pada porsinya, yang dilakukan dinamai dengan Husnul Adab. Yang sastranya buruk, dinamai dengan Su’ul Adab.

Seorang anak yang mengomentari berat badan ibunya, “Mak, Koen kok tambah kuru ae. Ndasmu sampek kimpes kabeh ngono. Iku ndas toh plembungan…” Ini adalah contoh Suul Adab. Padahal, jika dilakukan dengan tutur yang halus, perempuan mana yang tidak bahagia dibilang langsing?

“Bukan itu yang saya penasarankan, Kang. Tapi sikap sampean yang cenderung sering menyampuradukkan perihal agama dan selangkangan.” Sampean menyela sebelum saya buka sesi tanya jawab. Baiklah, tidak mengapa.

Begini, Kang. Kalau sampean rajin ngaji, sampean akan sering menemui kata-kata yang oleh sementara orang dianggap tabu. Mungkin karena bahasa Arab terlalu indah, sehingga bahasan selangkangan pun terkesan seperti doa. Kata “Dzakar” misalnya. Hurufnya sama persis dengan kata “Dzikir”, begitu juga dengan kata “Dzakara”. Bahkan, untuk menyebut lelaki, bukan saja hurufnya yang sama, tapi juga harakatnya. Sama-sama “Dzakar”. Bayangkan kalau kata-kata seperti ini berlaku di Jawa. Seorang ayah sangat gembira setelah lahir buah hatinya. Lalu dengan girang berkata pada tetangganya, “Lur… anakku kont (sensor).”

Demikian juga kata Farji dan Rahim. Dua kata itu jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi cukup aneh. Padahal dalam bahasa Arab, “Farj” bisa berarti kenyamanan, kebahagiaan, solusi permasalahan. Dan kata “Rahim” bisa berarti cinta dan kasih sayang.

Baca Juga: Ternyata Kebencian Juga Menular

Di sementara pesantren, tidak jarang kiai-kiai memaknai kata-kata tersebut dalam bahasa Jawa apa adanya, itu lebih simpel dan tidak perlu memperpanjang keterangan. Ada kiai yang terlalu menjaga muru’ah, tapi ujung-ujungnya menjelaskan juga. Ada yang dengan bahasa metafora, misalnya memaknai “Hasyafah” dengan “heleme manuk”. Santri yang telat mikir mungkin malah akan menyangka manuk yang dalam arti sesungguhnya: binatang berkaki dua, berbulu, dan bersayap. Lalu mungkin akan berfantasi, “Ternyata manuk punya peraturan berkendara juga. Pantesan manuk kutilang sering ditilang, gak pernah pakai helm sih.”

“Bukan gitu, Kang.” Sampean menyergah lagi. Seakan-akan jawaban panjang saya tidak sesuai pertanyaan.

“Lalu apa?”

“Masalahnya, bagaimana jika anak kecil juga ikut mendengar atau membaca bakasan ini?”

Begini, Kang. Kesalahan terbesar orang tua dalam mendidik anak adalah: mereka membiarkan anaknya berjalan sendiri, tanpa diberi bimbingan, tanpa dikasih tuntunan, sehingga jika mereka tersesat, mereka akan benar-benar tersesat. Jika orang tua menyuruh anaknya ke Jakarta, orang tua harus memberi alamat yang lengkap, yang jelas. Jika tidak, mereka akan mencari sendiri. Iya kalau nyasarnya di Monas atau Istiqlal, kalau di Kalijodo?

Demikian pula dengan seputar selangkangan. Berapa banyak anak yang sudah mulai baligh tapi belum mengerti cara mandi jinabat?

Jika anak tidak dikenalkan yang begituan dengan baik, saat ia mendengar kata “sperma”, maka yang terbesit dalam otaknya boleh jadi adalah cairan yang muncrat di wajah gadis cantik asal Japaness. Itu orang tuanya loh yang dosa. Namun, jika sejak dini anak dididik dalam lingkungan religius yang anggun, ketika mendengar kata “sperma”, maka yang terbetik dalam benaknya adalah babakan syariah. Misalnya: sperma adalah bahan penciptaan manusia, itu sebabnya mayoritas ulama tidak menghukumi najis, meskipun ia keluar Min Ahad as-Sabīlayn, tapi yang bersangkutan dihukumi berhadats, dan harus mandi jinabat, baik keluarnya karena mimpi basah, maupun hasil persebadanan pasangan suami istri. Jika Hasyafah seorang lelaki masuk ke Farji pasangannya, keluar sperma maupun tidak, tetap wajib mandi. Permulaan kebalighan anak lelaki adalah keluarnya sperma di usia 9 tahun (kalender Hijriah) ke atas. Jika sebelum itu, maka tidak. Jika tidak pernah keluar sperma, maka balighnya terhitung sejak usia 15 tahun (kalender Hijriah).

Anak yang tidak dididik dalam lingkungan religiusitas yang intensif, saat mendengar kata “darah haid”, maka yang terbayang olehnya adalah …

“Stop! Kita lanjutkan nanti lagi. Berikan saya waktu untuk menyeruput kopi racikanmu yang mulai dingin.”

Agama di Penghujung Senja


Judul: Agama di Penghujung Senja

Penulis: Muhammad Nuchid

Penerbit: Cakrawala Pustaka

Jumlah halaman: 324 hlm.

Harga: Rp. 50.000

—————-

Ah, ini buku. Layaknya seduhan kopi. Tak banyak tetapi, terus menepi. Meski ada perih, tersaji dalam rasa yang gurih. Pahit justru menjadi ciri kejujuran dalam menampilkan agama apa adanya. Selamat menyeduh. Selamat meneduh!

—Imam Sibawaih El-Hasany, Penulis Syarah al-Hikam dan Pengasuh Pesantren Semesta Inayatullah.

Kesadaran religius pada manusia, dewasa ini tengah mengalami demam; beragama secara kaku dan kolot. Kebenaran direbut dari “tangan” Tuhan. Buku ini menampilkan gambaran utuh dari persoalan ini. Bacalah, engkau akan terhenyak dan berguman, “Iya yah…”

—Ilman Abdul Haq, Ketua Tanfidziyah PCINU Mesir.

Berani. Satu kata yang tepat bagi saya untuk menyebut sosok Muhammad Nuchid ini. Ia berani mengungkapkan ide “nakal”nya dengan bahasa yang berani. Ide-idenya cerdas, out of the box, dan kerap tak terbayangkan sebelumnya. Bermutu.

—Masyhari, Dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon.

Buku ini menyeredeng banyak hal yang terjadi di sekeliling kita. Mampu membuat tersenyum, tertawa, ngakak, terbahak-bahak. Namun di saat yang sama juga mampu menjatuhkan awan dari mata, haru, sendu, rindu, menyembilu. Unik nan nyentrik!

—As_Syaibani, Mahasiswa Fakultas Dirasat Islamiyah al-Azhar asy-Syarif dan Penulis.
Format Pemesanan: ADPS-nama lengkap-alamat lengkap-nomor telepon. Kirim ke +201093106006 (WatsApp)