Tengah malam, seorang gadis berhijab kelam mendatangiku dengan isak tangis melalui sebuah surel. Ia mengadu tentang musik. Gadis itu pada mulanya penggemar musik. Setiap gerak-geriknya seperti film. Ada soundtrack-nya. Lalu tiba-tiba nasihat mentah mendatanginya. Musik haram! katanya. Hidupnya berubah sepi. Lebih sepi dari hari raya nyepi. Mungkin seperti nonton televisi dengan mode mute. Atau malah seperti radio yang tidak dicolokkan dan tidak pakai batre.
——
Aku ingin menjawabnya dengan sebuah musik.
%€£¥₩%~`♡☆
Tet treretet tetet tetet dun tak dundung joss..
Aku mau bicara soal musik
Tentu saja bagi penggemar musik
Di mana-mana, di atas dunia, banyak orang bermain musik
Bermacam-macam itu jenis musik
Dari yang pop sampai kelasik
Memang dengan adanya musik
Dunia ramai jadi berisik
Tapi kalau tak ada musik
Dunia sepi kurang asyik.
— K.H. Rhoma Irama
——-
Aku juga ingin membahasnya dalam sudut pandang keagamaan.
Musik adalah nada atau suara yang disusun demikian rupa sehingga mengandung irama, lagu, dan keharmonisan (terutama yang menggunakan alat-alat yang dapat menghasilkan bunyi-bunyi itu).
Ulama berselisih pendapat soal hukum musik. Ada yang berkata musik haram. Seperti Qadi Abu Thayyib al-Thabari, Syafii, Maliki, Abu Hanifah, Sufyan, dll. Namun, pendapat tersebut disertai ‘Illat atau Amrun Khārijī : karena pemusik atau pendengarnya biasanya menggunakan musik sebagai soundtrack dalam berzina dan bermabuk.
Ada yang berpendapat tidak haram, selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang telah ditetapkan dalam agama dan budaya. Menurut Abu Thalib al-Makki, para sahabat Rasulullah saw. seperti Abdullah bin Jakfar, Abdullah bin Zubair, Mughirah bin Syukbah, Muawiyyah, dan sahabat lainnya, mereka suka mendengarkan musik.
Musik dan tarian–lanjut Abu Thalib–sudah mentradisi di kalangan Tabiin dan Salafunā al-Shāihīn. Bahkan saat al-Makki berada di Mekkah, tatkala berlangsung peringatan hari-hari istimewa, orang-orang Hijaz merayakannya dengan pagelaran musik.
Jika mendengarnya menjadikan pendengarnya misalnya tiba-tiba ingin bunuh diri, atau ingin membunuh orang, atau ingin mencium istri orang dan membunuh suaminya, dan sampai melakukannya, maka jelas itu haram.
Jika pendengarnya justru merasa damai, tenang, ayem, semakin semangat beribadah, semakin bertambah kecintaannya pada Sang Pencipta, maka mendengarkannya sangat dianjurkan.
Bahkan, Maulana Jalaluddin ar-Rumi menggunakan musik dan tarian mawlawiyahnya sebagai jalan mendekatkan diri pada Tuhan.
Dalam Alquran maupun Hadis, tidak ada yang secara mutlak mengharamkan musik. Secara mutlak loh ya, bukan dengan kias maupun takwil. Dan anehnya, yang menghukumi musik haram mutlak ini, biasanya tidak setuju dengan kias dan takwil.
Sesungguhnya musik tidaklah memiliki hukum. Ia seperti kicauan burung, deru mobil, derit pintu, suara gelas kaca yang pecah, atau gemeretak hati yang patah karena cinta. Hukumnya timbul bersama akibat yang datang bersembari atau seusai mendendangkan atau mendengarkannya.
Jika musik dipaksa untuk dihukumi. Maka hukumnya mubah. Al-Ashlu fī al-Mu’āmalah al-Ibāhah. Illā Mā Dalla Dalīlun ‘alā Tahrīmihā.
Memang, ada Hadis yang seolah menyinggung keharaman musik. Seperti, “Akan datang masanya, orang-orang menghalalkan khamer, zina, dan ‘alat-alat’ musik.”
Ya.
Khamer haram. Karena memabukkan. Yang bukan khamer juga haram jika memabukkan. Seperti narkoba, ganja, atau senyuman manis dari bibir merahmu. Dan khamer yang sudah tidak memabukkan, maka tidak lagi haram. (Yakni ketika sudah menjadi cuka).
Memasukkan penis pada vagina perempuan itu haram, karena mampu mengakibatkan rusaknya nasab dan menyebabkan beragam penyakit, termasuk gangguan psikologis. Tapi jika sudah melalui pernikahan, maka tidak lagi haram.
Musik juga bisa haram, karena berpotensi menjerumuskan maksiat dan kelalaian. Tapi jika digunakan untuk mengiringi selawat, memuji Tuhan, pengiring belajar, pengantar tidur, menyegarkan otak, atau sesuatu yang bermanfaat lainnya, maka keharamannya pun hilang.
Ketika tujuh pemuda dikejar oleh pemerintah yang zalim, mereka bersembunyi di dalam gua. Lalu Allah memutar musik untuk mereka agar tertidur dengan nyenyak. Selama tiga ratus tahun. Mereka adalah Ashabul Kahfi yang kisahnya diterakan dalam kitab suci.
Orang yang hidupnya mulia, akan mampu merasakan keindahan-keindahan hidup, keindahan-keindahan takdir. Saat ada vokalis hadrah yang njungkel dalam koreografinya atau penabuh bas yang nggeblak, mereka akan merasakan keindahannya.
Orang yang hidupnya penuh kebencian, akan tersenyum sesisi sambil nyinyir, “Inikah yang mereka persembahkan pada Tuhan? Cuih!”
Orang yang hatinya suci, saat melihat pengamen menghampirinya, akan datang padanya rasa iba, lalu memberi sebagian harta yang dititipkan Tuhan untuknya.
Orang yang hatinya buruk, kotor, dan bernanah, saat dihampiri pengamen, wajahnya akan membiru penuh murka, lalu ia mengeluarkan nasihat-nasihat agama yang bukan pada tempatnya. “Musik itu haram. Qola Tangala. Qola Mokammat.”, “Musik haram!”, “Masih muda sudah meminta-minta.”, “Neraka!!!”.
Ya Akhi Fillah, larangan meminta-minta itu untuk peminta. Perintah memberi itu untuk pemberi. Jangan dibalik-balik.
Mereka sudah mempermalukan diri dengan meminta-minta–jika engkau bersikukuh mengatakan pengamen adalah peminta-minta–maka jangan lagi kaupermalukan ia dengan jidat hitam dan jenggot berantakanmu yang menutupi kedangkalan otakmu.
Mereka menyuguhkanmu dengan keindahan musik, tapi kau membalasnya dengan kotoran yang kaubungkus dengan agama.
Jika mereka berhenti menjadi pengamen karena rasa malu lalu berpindah profesi jadi pencuri atau perampok piye jal?
TAHUKAH ANDA?
Pejabat yang korupsi itu, mereka tidak suka musik. Saat menjalankan aksinya, semua musik dimatikan. Sunyi. Dan tiba-tiba harta negara lenyap begitu saja.