MIE INSTAN


“Tidak ada yang instan kecuali mie instan.” Ini bukan kalimat suci. Jadi kita bisa terserah mau membuang yang mengecualikan atau yang dikecualikan. Karena memang instan itu ada ada nggak ada.

Mie instan meskipun dinamai mie instan, sebenarnya ia tidak benar-benar instan. Untuk mie instan menjadi siap saji, ada banyak prosesnya. Menentukan merek, rebus atau goreng, rasa apa. Belum lagi masak air, itu kalau bisa. Kalau nggak bisa, ada yang berusaha untuk bisa dengan melakukan pencarian di internet. Ada yang pasrah kepada Ibu Warung untuk menunaikannya, termasuk tetek bengek berikutnya: menentukan cara membuka plastiknya, apakah disobek dengan tangan, digigit dengan gigi, digunting, atau diledakkan. Mengeluarkan mie mentah dari plaatiknya, dan menentukan lagi, apakah ia akan disirah dalam sebuah mangkuk, atau dimasukkan ke air yang mendidih. Membuka bungkus bumbunya, termasuk menentukan bagaimana cara membukanya. Mengurut minyaknya yang tidak pernah tuntas. Dimasukkan bersama atau sendiri, diaduk atau dicampur. Dikasih telur atau tidak. Kalau dikasih, telurnya diaduk atau dipisah, dimatangkan atau setengah matang, atau sepertiga matang, atau seperempat matang. Ini masih belum kita bicarakan proses marketing hingga sampai ke kita, produksi, peracikan komposisi, desain logo, pendirian pabrik, perekrutan karyawan, desain pos satpam.

Serumit itu.

Hanya mungkin karena biasa, jadinya tidak kerasa. Hal yang rumit, menjadi seperti sangat instan. Seperti orang yang tilik bayi, lalu ketemu lagi setelah 20 tahun, dan orang itu berkata, “Wah, cepet gede, ya. Kayak baru kemarin masih bayi.” Masih bayi apaan. Dua puluh tahun, Woy!

Ternyata, kita bisa biasa dengan hal-hal rumit. Hanya butuh pembiasaan untuk menjadi biasa. Kerja, jalani prosesnya, nanti kalau sudah biasa, akan biasa. Begitu pula belajar. Begitu pula ibadah.

Proses itu indah, maka nikmatilah. Sungguh malah aneh, jika proses itu tiada. Bayangkan jika tanpa proses, bayi yang baru berusia 4 jam, sudah seperti 40 tahun. Kumisnya tebal. Mulutnya bau tembakau. ASI-nya rebutan sama bapaknya. Kan aneh.

Mie instan juga begitu. Kendati instan, ia tetap lebih nikmat dengan proses. Disendoki, masukin mulut, dikunyah, menari-nari di lidah, masuk tenggorokan, melewati usus, muter-muter di usus, nyebur di lambung, berenang bersama air dingin. Mengendap. Proses selep. Dan seterusnya. Bayangkan jika tanpa proses. Mie sudah jadi, langsung jadi tai.

Diterbitkan oleh Nuhid

Penulis adalah mahasiswa di universitas al-Azhar, Kairo.

2 tanggapan untuk “MIE INSTAN

Tinggalkan komentar