Menempuh Jalan Sunyi


Jika Anda ingin beruzlah atau menempuh jalan sunyi, tidak perlu mencari gua atau hutan belantara. Datang saja ke desa saya.

Hampir seminggu ini, saya merasa seperti pertapa. Menjalani hidup tanpa berinteraksi dengan manusia. Desa saya benar-benar sepi. Tidak lagi seperti dahulu, saya tidak mendapati anak-anak kecil bermain bentik atau layang-layang atau nekeran atau kejar-kejaran. Bahkan saya hampir tidak mendapati anak-anak kecil. Para orang tua agaknya enggan bersetubuh. Sejak sore sudah malam. Malamnya, sudah benar-benar tak ada kehidupan. Saya pernah berkeliling desa, dan tak sekalipun saya mendapati ada rintihan maupun desahan, bahkan di rumah pengantin yang baru menunaikan pernikahan.

Tidak juga ada anak muda. Hidup di desa ini benar-benar buntu. Hampir tak ada produktivitas. Mungkin lantaran itu mereka lebih memilih merantau ke kota, untuk menuntut ilmu maupun bekerja. Manusia-manusia yang berasal dari desa ini, apabila telah melihat betapa indahnya perkotaan, tidak banyak yang memilih untuk kembali pulang. Bagi mereka, lebih baik di sana. Walau bukan rumah sendiri. Segala nikmat dan anugera yang kuasa. Semuanya, ada di sana.

Sementara itu, orang-orang sepuhnya mengantri menunggu panggilan Yang Maha Kuasa. Kuburan di desa saya belum begitu banyak, tetapi seakan-akan penduduk desa sudah berkumpul di sana semua.

Jika Anda ingin beruzlah atau menempuh jalan sunyi, tidak perlu mencari gua atau hutan belantara. Datang saja ke desa saya. Lalu rapallah mantra karya Sutardji Calzoum Bahri: Sepisaupi.

sepisau luka sepisau duri
sepikul dosa sepukau sepi
sepisau duka serisau diri
sepisau sepi sepisau nyanyi
sepisaupa sepisaupi
sepisapanya sepikau sepi
sepisaupa sepisaupi
sepikul diri keranjang duri
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sampai pisauNya ke dalam nyanyi.

Diterbitkan oleh Nuhid

Penulis adalah mahasiswa di universitas al-Azhar, Kairo.

16 tanggapan untuk “Menempuh Jalan Sunyi

Tinggalkan komentar