Kesantunan Berdakwah


Jangankan FPI. Kepada ISIS, saya pernah menyuarakan pembelaan terhadap mereka di atas sebuah podium. “Umat Islam telah tertindas. Kita tidak bisa terus menerus membiarkan kewibawaan terampas. Apa yang dilakukan ISIS adalah kebenaran.” 

Begitu turun dari panggung dengan bersambut riuh tepuk tangan hadirin, Habib saya berdiri. Matanya merah berkaca-kaca. Telapak tangannya yang keriput oleh usianya yang hampir seabad bergetar menghampiri wajah saya. Saya “ditabok” dan “ditapok” berkali-kali. Di hadapan para hadirin. 

“Apakah kau sudah berputus asa pada kedamaian?” tuturnya dengan suaranya yang parau bernada gemetar.

Kemudian saya diseret ke Ndalem salah satu Zurriyah Rasul itu. Saya didukani panjang lebar. Dari selepas jamaah Isya sampai hampir jam 12 malam.

Ini terjadi pada 2015. Sehingga, tidak mungkin saya mengingat secara detail setiap kalimatnya. Namun, semoga apa yang saya tulis ini tidak terlalu jauh, atau sekurang-kurangnya mampu melukiskan aroma percakapan malam itu. 

“Memang, tidak seratus persen mereka salah. Ada beberapa sisi yang bagus, yang dapat kita teladani dari mereka. Seperti salat jamaahnya. Kedisiplinan. Dan, keberanian. Mereka ini memiliki mental yang luar biasa. Hanya saja, semangatnya melebihi ilmunya. Dan ini yang paling berbahaya.

“Dalam berdakwah, di antara aneka syarat yang harus dipenuhi adalah ilmu. Ngendikane Allah, ‘Qul Hādzihī Sabīlī Ad’ū ila Allah. ‘Ālā Bashīratin Ana wa Man Ittaba’anī.’ Rata-rata ulama ndarani makna ‘Bashīratin‘ adalah ilmu. Nah, mereka ini salahnya di situ. Terlalu semangat. Bahkan semangatnya melebihi Nabi.”

Habib berhenti lama. Memandang jauh ke arah Gereja yang kerlip neon di atas kubah salibnya menyentrong di antara kegelapan malam. “Lihatlah Gereja itu. Memang saat ini belum terlalu banyak pengikutnya. Tapi bisa saja sepuluh tahun ke depan, justru kita yang akan menjadi penganut minoritas. Mereka telah merencanakan sesuatu yang sangat agung.”

“Lalu apakah kita akan diam saja, Bib?”

“Kita tetap harus bersaing. Kita harus berjuang. Dakwah itu wajib. Tapi harus dengan cara yang santun. Seperti dakwahnya Rasulullah. Seperti dakwahnya Wali Songo. Kristen sudah mulai menerapkan itu. Dan hasilnya luar biasa. Sedikit-sedikit mulai banyak yang berpindah kepercayaan. Mereka berhasil memulangkan domba ke kandangnya melalui rumput kasih sayang.

“Dulu, Rasulullah juga pernah jengkel dalam berdakwah. Menggebu-gebu. Hampir berkali-kali darah beliau naik. Tapi cepat-cepat Allah menegur. ‘Seandainya kamu bersikap kasar dan berhati keras, niscaya orang-orang akan menjauh darimu.’ Rasulullah juga pernah hampir seperti FPI gitu. Memaksakan kehendaknya sendiri. Tapi Allah kemudian berfirman, ‘Apakah engkau akan memaksa manusia sampai mereka mau beriman?’ Firman-Nya yang lain, ‘Tidak ada paksaan dalam masuk Islam.’ Rasulullah juga pernah jengkel banget. Gemes sama orang yang demikian durhaka, ternyata malah dia masuk Islam. Tapi ada yang senantiasa membantu dalam berdakwah, yang Rasulullah sangat ingin dia masuk Islam, tapi tidak Islam-Islam. Lalu Allah berfirman, ‘Kamu tidak bisa memberi petunjuk berupa tuntunan hati memasukkan orang ke dalam Islam siapapun orang yang kauinginkan, tapi Allahlah yang menuntun siapa saja yang dikehendaki-Nya, menuju Islam.’ Artinya apa? Kewajiban kita hanyalah berdakwah. Mengatakan yang benar itu benar, yang salah itu salah. Islam itu tegas, bukan keras.

“Dari sekitar tiga puluh peperangan yang diikuti Rasulullah, delapan belas di antaranya tidak ada pertumpahan darah. Karena di setiap peperangan, Rasulullah selalu menawarkan perdamaian. Dan jika perdamaian tidak dapat diterima, para sahabat baru boleh melakukan perlawanan, itu pun harus dalam batas kewajaran. Bukan dengan berlebih-lebihan.”

“Lalu apa yang harus saya lakukan saat ini, Bib?”

“Anda ini orang yang sangat berbahaya. Sekarang, persiapkan semuanya. Lancarkan hafalan Anda. Matengkan lagi baca kitab Anda. Dan tahun ini, Anda harus berangkat ke Mesir.”

Habib berdiri. Mengisyaratkan kesudahan obrolan ini. Lelaki tua itu merenggangkan tangannya. Saya menenggelamkan diri di pelukannya. 

Lirih, Habib berdesis di telinga saya. Terasa sedikit isak dalam nada bicaranya. “Saya menaruh harapan yang besar pada Anda. Anda adalah andalan saya.”

Mata saya basah. Meluber memenuhi bumi Jakarta.

Diterbitkan oleh Nuhid

Penulis adalah mahasiswa di universitas al-Azhar, Kairo.

14 tanggapan untuk “Kesantunan Berdakwah

  1. Saya kagum dg klimat Anda ini, “Kewajiban kita hanyalah berdakwah. Mengatakan yang benar itu benar, yang salah itu salah. Islam itu tegas, bukan keras.”

    Di dlm kyakinan saya (bkn agama saya), ajarkan agama dengan BERITA, bkn DERITA.

    Memaksa org lain dlm utk memeluk suatu agama saat brdakwah adlah bntuk dari siar yg mndtangkan derita.

    Beritakanlah Injil dg santun
    Beritakanlah Quran dg santun
    Beritakanlah agamamu dg BERITA, niscaya org akan melirik kbnaran britamu. Tuhan mahatahu dan mahaberdaulat.

    Terima kasih mas Nuhid. Pikiran2 yg balance sprti Anda inilah yg akan membuat dunia lbih indah dan dmai shingga kita bisa hidup bersama sbgai mahkluk Tuhan YME.

    Suka

    1. Terima kasih, Kang. Amin Ya Rabb…

      Tapi dalam postingan ini, yang Anda kagumi sebagai kalimat saya, ceritanya, bukan kalimat saya, tapi merupakan kalimat Habib saya.

      Dan, mari kita, seperti yang Anda sabdakan, mengajar agama dengan berita, bukan derita.

      Disukai oleh 1 orang

  2. Melakukan sesuatu sesuai petunjuk syara dengan baik. Manusia baik karena melakukan hal baik. Meski benar, juga harus baik. Makanya Islam disebut agama cinta 😗

    Suka

Tinggalkan komentar