Arti Sebuah Nama


Kiai William Shakespeare pernah ngendiko, “What’s in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet.”

Ya, mawar akan tetap wangi walau seandainya kita menamainya entut. Seperti aku yang akan tetap mencintaimu meskipun tidak pernah berkata i love you. Dan aku akan tetap mencintai-Mu, Wahai Tuhanku, walau tanpa Asmaul Husna-Mu.

Namun demikian, nama tetaplah penting. Nama adalah identitas. Nama adalah sebuah wirid. Ketika aku tidak akan pernah melihat Tuhanku, aku bisa mengingat-Nya dengan menyebut nama-Nya. Ketika aku tidak pernah melihat nabiku, aku bisa berselawat mengharap syafaatmu melalui nama indahmu. Dan, dalam kitab suci, Tuhan juga kerap mengutuk para pendurhaka yang menyembah nama-nama tanpa identitas.

Di Jawa, nama kerap menjadi obat untuk penyakit yang bahkan dokter tidak mampu mendiagnosis. Ketika Kusno Sosrodihardjo masih balita, ia pernah mengalami penyakit yang aneh. Dibawa ke sana ke mari tidak sembuh-sembuh. Sampai akhirnya, nama Kusno Sosrodihardjo diganti menjadi Soekarno, ia bukan saja sembuh dari penyakitnya, tapi kelak, ia bahkan menjadi presiden pertama di Indonesia.

Di Jawa, Asmo mono kinaryo jopo. Nama adalah sebuah doa. Dulu, mbah saya menamai bapak saya dengan nama “Sokran”, karena terinspirasi temannya yang bernama Sokran, bisa naik haji. Dan impian Mbah keturutan. Setelah itu, atas usulan dari kiainya Bapak, namanya diubah menjadi “Syukron”. Bukan karena kata “Sokran” berarti “mabuk” (berasal dari bahasa Arab سكر), sebab Bapak tetap bersikukuh bahwa “Sokran” adalah “gula” atau “manis” (berasal dari bahasa Arab سكار), tapi karena nurut sama kiai, akhirnya Bapak mengiyai, dan akhirnya menjadi kiai.

Ijazah saya, berbeda-beda penulisannya. Ada yang Muhammad Nuhid, Muhammad Nukhit, dan Muhammad Nukit. Ternyata yang benar adalah Muhammad Nuchid. Bapak bilang, itu jangan diubah. Muhammad Nuchid (dengan huruf c sebelum h). Tulisan Arabnya نحيد yang sebenarnya artinya adalah “menyeleweng”. Tapi Bapak saya tidak peduli. Saya tidak boleh mengubahnya. Itu pemberian dari kiainya di Langitan. Karena saat itu katanya pernah ada santri Langitan yang bernama Muhammad Nuchid, dan dia hafal Alquran. Dalam secarik kertas, sang kiai menuliskan Muhammad Nuchid/محمد نحيد dengan harapan nanti bisa hafal Alquran.

Bapak saya pernah berkata, “Jika ada kiai yang mengijazahimu wirid, meskipun nahwunya salah, jangan diubah. Wirid itu bukan wilayah nahwu saraf. Kalau kauubah, nanti malah gak mandi wirite.”

Dan Alhamdulillah harapan Bapak dan kiainya itu keturutan, meskipun keduanya tidak sempat menyaksikan. Allāh Yarhamhumā

Setelah tercapai harapan itu, atas usulan kiai saya, saya mengubah tulisan Arabnya yang asalnya نحيد (menyeleweng), menjadi نوحد (bertauhid). Tapi saya enggan mengganti tulisan latinnya.

Saat hendak berangkat kuliah ke luar negeri, saya harus menerjemahkan ijazah. Transliterasi Muhammad Nuchid menjadi محمد نوحيد. 

Sesampai di universitas luar negeri itu, ketika saya melakukan Ijraat … 

“Ini Nūhīd atau Tauhīd?” Orang Syuun bertanya.

“Nūhīd.” Aku menjawabnya.

“Apa artinya?”

“Tampan, pintar, baik hati, tidak sombong, dan rajin menabung. Itu bahasa Indonesia.”

“Tidak! Ini bahasa Arab. Dan ini adalah salah satu nama dari nama-nama Firaun. Ganti Tauhid saja, ya?”

La’ah, Ya ‘Ām. Itu nama pemberian dari ayah saya.”

“Nanti saya yang banca’i.”

“Nggak, nggak, nggak. Nanti berpengaruh sama ijazah.”

“Tidak.”

“Tapi …”

Dan nama saya beneran ditulis Muhammad Tauhid.

Diterbitkan oleh Nuhid

Penulis adalah mahasiswa di universitas al-Azhar, Kairo.

17 tanggapan untuk “Arti Sebuah Nama

  1. Pak ustaz, ternyata Anda menyeleweng? Haha…baru tahu. Hebat namanya ya.

    Tapi kemudian jadi tauhid dan khatam quran. Unik.

    Nama kadang adalah doa dan harapan, tp aplh arti nama, sklipun entut, tetap mas Nuhid yg pling ok.

    Suka

Tinggalkan komentar