Perihal Maaf-Maafan di Hari Lebaran


Tidak banyak negara yang di hari raya Idul Fitri menradisikan maaf-maafan. Di Arab, katanya, dan di Mesir sebagaimana yang saya perhatikan dan saya saksikan melalui penglihatan dan pertanyaan dari beberapa masyarakatnya, tidak ada tradisi maaf-maafan di hari lebaran. Mengapa?

Orang Arab itu tinggal di tempat yang banyak pasirnya. Pasir itu mudah terkumpul, tapi juga mudah tercerai berai. Seperti saat dulu kita membangun istana dari pasir basah di pinggiran pantai, runtuh hanya oleh angin laut yang tidak begitu kencang. Atau seperti saat itu aku menulis namaku dan namamu di tepi pantai, nama kita lenyap hanya oleh ombak kecil yang membawa beberapa butir bui. Tiada mengapa, asal cinta kita tetap abadi dan kokoh walau seandainya tragedi tsunami di zaman Nuh terulang kembali. 

Tapi itulah pasir. Berbeda dengan tanah. Ia demikian kokoh dan konsisten. Tidak mudah rapuh walau berkali-kali diterpa hujan, tertiup angin kencang, atau terbakar oleh api. Saya masih sangat ingat saat saya masih kecil. Nenek dan Ibu saya pernah membuat pawon dari tanah untuk kasgeni dan masak memasak. Ia berkali-kali terkena bocor air hujan, dan setiap pagi terbakar karena digunakan menanak nasi dan air seduhan kopi. Tapi, pawon itu sampai sekarang masih ada, walau sudah mulai rapuh. Rujuklah ke belakang rumah saya jika ingin membuktikan. Mungkin ibu saya sudah lupa, tapi saya masih sangat ingat. Dari tanah pula, ia dijadikan sebagai pelindung seseroang atau keluarga dari terik matahari saat kemarau, dan guyuran hujan saat musimnya. Juga sebagai penutup hubungan suami istri dari penglihatan manusia. Tanah itu di bentuk sedemikian rupa, dengan model yang bermacam-macam, yang orang-orang menamainya genteng.

Itu sebabnya, orang Arab saat marah, meluap-luaplah amarahnya. Ngampleng, ngampleng tenan. Nyinggung perasaan sedikit saja, disiram dengan teh panas dari air mendidih yang baru saja disedukan. Tapi kemarahan itu hanya sesaat. Semenit yang lalu hampir bunuh-bunuhan, semenit kemudian sudah rangkul-rangkulan, cium-ciuman. Pernah ada bis yang menabrak taksi. Sopir taksi itu keluar dan nggedrok-nggedrok sopir bisnya. Kepalanya ditempeleng. Begitu ada yang berseru, “Shallu Alan Nabi!” Langsung baikan. 

Saya pernah suatu hari di kereta bawah tanah dalam perjalanan menuju pameran buku. Takut ketinggalan, saya buru-buru masuk, dan ternyata yang saya masuki adalah gerbong khusus wanita. Saya tidak berpegangan, karena pegangannya terlalu dekat dengan tempat duduk mereka. Akhirnya, dengan tegap saya berdiri. Entah kenapa, kuda-kuda saya tidak terlalu kuat saat itu. Sehingga, begitu kereta berjalan, saya kejlungup. Dan keterjlungupan saya menggerakkan kedua tangan saya untuk bersiap-siap menahan jatuhnya tubuh saya. Dan dilalahnya, saya terjatuh tepat di tempat duduk seorang gadis Mesir. Cantik. Kedua tangan saya tersentuh tepat pada dua kubah masjid yang menyembul di balik jilbab ketatnya. Saya disemprot habis-habisan. Dia marah-marah dan ngata-ngatain saya melakukan kejahatan seksual. Tapi sekitar lima menit kemudian, sebelum kereta berhenti di pemberhentian berikutnya, gadis Mesir yang asalnya marah, berubah jadi cinta. Itulah pasir. Terkena angin saja berubah. 

Masyarakat Indonesia, saat disakiti, terkadang tidak langsung marah. Tapi setelah itu, embernya nggak ada pungkasnya. Padahal hanya disindir sedikit saja, cerita kepada kawan-kawannya, jika dinovelkan, mungkin lebih tebal dari novel-novel Tere Liye. Terkadang hubungan mereka sekilas terlihat baik-baik saja. Tapi dendam kusumatnya melantrak sampai anak cucu. Bahkan, pernah ada dua sahabat yang masih TK sedang bermain petak umpet, didatangi ibunya dan berkata, “Tidak usah kau cari anak itu. Biarkan dia hilang. Dulu, Mbah Buyutnya pernah minjam korek buat nyumet rokok dan koreknya dihilangkan. Kayaknya sih dikantongi.” Bayangkan! Mbah buyut yang melakukan, dampaknya sampai tujuh turunan, bahkan lebih. Demikianlah tanah.

Inilah yang menjadi sebab, kenapa di Arab tidak ada tradisi maaf-maafan. Karena tidak banyak dari mereka yang menyimpan dendam. Saat marah, mereka menuntaskan kemarahannya ketika itu juga. Tapi tidak di Indonesia. Meminta maaf adalah tanda kelemahan. Meminta maaf menjadi alamat bahwa dia yang salah. 

Kemudian datang para Wali Songo. Awalnya mereka kebingungan menghadapi orang-orang Indonesia yang kehidupannya begitu rukun. Tapi saat marah, tidak mau ada pihak yang memulai minta maaf. Kemudian, Idul Fitri inilah yang dijadikan ajang saling memaafkan, dengan menjelaskan bahwa di bulan Ramadan, Allah harusnya mengampuni semua dosa kita. Tapi Allah enggan, jika kalian masih memendam dendam pada sesama. Memintalah maaf walau tidak merasa bersalah, dan maafkanlah siapa saja yang bersalah, niscaya Allah akan mengampuni kesalahan-kesalahan kalian, sehingga kalian bisa kembali pada kesucian. Kembali pada fitrah. Seumpama bayi yang baru saja dilahirkan. 

Tapi orang Indonesia tetap gengsi, sehingga mereka hanya menyarankan, Ya sudah, tidak perlu ada kata-kata permintaan maaf. Katakan saja pada saudaramu, ‘Ngaturaken sedoyo lepat’. Jika masih enggan atau malu juga, memintalah maaf dengan isyarat. Buatlah makanan yang terbuat dari beras yang dibungkus dengan anyaman pucuk daun kelapa dalam bentuk segi empat atau lainnya (seperti Jekikrek atau Jekicen), lalu dinanak. Kemudian dimakan bersama-sama. Makanan ini dinamai “kupat”, yang berarti “ngaku lepat”. Inilah awal mula adanya hari raya kupat, yang tidak ada kecuali di Indonesia. Di Malaysia dan di sebagian daerah Tailand mulai ada. Tapi semua itu hanya plagiarisme yang tidak pernah mereka sebutkan sumber rujukannya.

Ketika masyarakat mulai mampu saling memaafkan, selain tetap menradisikan kupat dan pengakuan lepat, ditambah dengan, “Pinten-pinten kesalahan kulo, nyuwun agungipun pangaksami.” Atau jika terlalu njelimet, cukup dengan “Lahir batin”. 

Itulah sekelumit tentang filosofi pasir dan tanah. Dan Indonesia ini bukan hanya tanah. Ia disebut-sebut sebagai tanah air. Jika hanya tanah, bisa saja dia ambyar. Tapi kalau sudah dicampur dengan air, ia menjadi lebih kuat.

Ada cerita menarik. Yang cerita ini tidak akan Anda temukan di buku mana pun.

Saat Tuhan menciptakan Adam, Dia menyuruh Izrail untuk mengambil tanah dari 59 negara. Setelah jadi manusia, para penghuni langit senang sekali menggelitiki Adam dengan memasukkan bulu mentok ke hidungnya. Hal ini menjadikan Adam bersin. Dan setiap bersin, kepala Adam copot. Digelitiki lagi, bersin lagi, lalu tangannya copot. Dan begitu seterusnya. Lalu Tuhan memerintahkan Izrail untuk mengambil tanah-air di Indonesia, ditempelkan pada bagian-bagian yang rawan copot. 

Kemudian para penghuni langit kembali menggelitiki. Dan ketika Adam bersin, kepalanya tidak lagi copot, tangannya juga tidak lagi copot. Sekonyong-konyong, Adam berseru, “Alhamdulillaaah.” Dan penduduk langit menjawab dengan berdoa, “Yarhamukallah.” Adam kembali mendoakan, “Yahdikumullah wa Yushlihu Balakum.” Itu sebabnya, saat seseorang bersin, disunnahkan membaca “Alhamdulillah”, yang mendengar mendoakan “Yarhamukallah”, lalu yang bersin kembali mendoakan “Yahdikumullah wa Yushlihu Balakum”.

Tanah yang diambil dari Indonesia ini adalah tanah yang ke enam puluh, yang oleh orang Indonesia disebut dengan “siti”, berasal dari bahasa Arab “SittΔ«n”/enam puluh. Makanya, kalau ada perempuan yang bernama “Siti”, pasti dia adalah perempuan yang tangguh. Itu sebabnya, dari sekian perempuan yang mendaftar sebagai pacar saya, yang nama depannya ada “Siti”-nya lah yang saya jadikan kekasih dan calon pendamping hidup saya kelak.

Dari uraian di atas, kita bisa menarik pelajaran: Jika Anda orang Indonesia yang benar-benar Indonesia, harusnya Anda bukan orang yang mudah meminta maaf, juga tidak mudah memaafkan kepada siapa saja yang menyakiti Anda. Kecuali ketika Idul Fitri tiba.

Dengan ini, saya, Muhammad Nuchid, memohon maaf kepada Anda semua, atas kesalahan-kesalahan masa lampau saya yang saya tidak sengaja, yang sengaja, maupun yang saya rencanakan dengan sangat matang. Juga pada kesalahan-kesalahan saya yang akan datang, sehingga nanti-nanti saya tidak perlu lagi meminta maaf. Sekurang-kurangnya, sampai lebaran tahun depan. Semoga Allah memanjangkan usia kita dalam keberkahan, sehingga kita bisa kembali saling memaafkan. Lahir Batin!

Diterbitkan oleh Nuhid

Penulis adalah mahasiswa di universitas al-Azhar, Kairo.

8 tanggapan untuk “Perihal Maaf-Maafan di Hari Lebaran

  1. Haha…keren skli kajian Anda, sy suka (NU sih, siapa dlu dong), tampak sederhana tp bernas. Sya pun sdah lma menginginkan seorg muslim sprti Anda utk mmbrikan komentar sprti di atas.

    Bahkan menurut Nurcholis Madjid, minal aidin wal faidizin itu doa yg out of context (maaf klo sy slh). Mknya sya ktika di hari lbaran, gak prnyah ngucpin itu, hnya mhon maaf lhir btin.

    Ya..itulah, tanah air mah jls beda dg pasir, haha…

    Tp ttp, sy mhon maaf ni mas Nuhid klo komen sy ini kliru atau kurang berkenan.

    Suka

  2. πŸ˜€ saya nahan ketawa baca tulisannya (maklum udah malam).

    Waa benar-benar menarik filosofi pasir dan tanah itu. Kalau orang Indonesia tulen mestinya bandel disuruh minta maaf barang salaman doang (tanpa kata)…?

    Selamat Lebaran, lahir-batin pun πŸ˜ƒ

    Disukai oleh 1 orang

Tinggalkan komentar